Lost

3.8K 277 75
                                    

Aku tidak berhenti mengira, bahwa kecemburuan adalah bias dari kelabilan, kelebay-an, dan ketidakmampuan diri dalam mengontrol hati.
Sampai kemudian aku merasakan.
Hatiku bertalu-talu di palu.
Tumpul lukanya.
Pedih perih dirasa.
Ketika yang disebut adalah namanya, bukan namaku.
Sementara, aku tak cukup bernyali menikungnya dalam doa.
Karena aku tahu, kenihilan untuk membuatnya lupa.
(Shafa Khumaira Hamid)

♡♡♡

"Bunda nangis ya?"

Shafa gelagapan, ia mengira Naura sudah terlelap. Nyatanya, gadis kecilnya itu tengah menangkap basah sisa-sisa air matanya.

"Oh. Anu. Itu... Bunda ngantuk. Jadi kalau nguap keluar deh air matanya..." kilahnya. "Emmm... Naura mau tidur sambil dipeluk bunda nggak?"

Di tengah dera kantuknya, Naura mengangguk riang. Serta merta dipeluknya Shafa. Menenggelamkan diri dalam rengkuhan hangat.

Senyum Shafa kembali memudar, tergantikan oleh genangan air mata di sarung bantal bergambar teddy bear coklat muda.

Dan di sudut lainnya, ada seseorang yang dengan pias memandang ruang kosong di depannya. Tempat tidur mereka masih klimis tanpa jejak. Tadi, tak mungkin ia salah melihat wanitanya memasuki kamar mereka. Adam masuk perlahan, menuju pintu penghubung kamar mereka dengan kamar anak-anak.

Klik.
Pintu terkunci. Adam mengernyit. Seseorang pasti menguncinya dari ruang seberang. Biasanya, pintu penghubung ini hanya dikunci dari dalam kamar mereka, bukan dari kamar anak-anak.

♡♡♡

Ini sudah pagi kedua sejak malam dimana Adam kehilangan kendali atas lisan dan emosinya. Tak dipungkiri, Adam masih bertanya-tanya, kemana gerangan istrinya dua hari lalu hingga membuatnya terbakar oleh rasa khawatir. Tapi, mengungkitnya tentu bukan pilihan yang tepat untuk saat ini.

Mereka memang tetap berkomunikasi seperti biasa. Pagi hari setelah malam itu, Shafa bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Bahkan, malam tadi mereka sudah tidur di kamar yang sama. Tanpa adegan nelangsa seorang Adam yang dikunci pintu seberang, hingga insomnia dan hanya mampu memejamkan matanya selama sejam. Tapi, dua hari ini Adam memang kehilangan senyum dan tawa Shafa. Yang semula memang irit dan sekarang menjadi benar-benar langka.

"Mas..." lirihnya.

Adam menunggu. Tangan bermanset bunga-bunga dan gamis merah muda itu berlalu lalang di hadapannya, menyiapkan sarapan. "Hmmm..." sahut Adam. Padahal, hampir ia meleleh dipanggil selembut tadi.

"Sore ini aku akan ke Cempaka, menjenguk salah satu adik yang kemarin baru pulang dari rumah sakit. Apa__"

"Ku izinkan. Aku punya waktu untuk mengantarmu dan menjemputmu. InsyaAllah."

Shafa menggeleng di samping Adam. "Nggak usah, Mas. Lebih baik Mas jemput Naura dan Faiz aja. Aku bisa naik taksi."

"Baiklah...."

♡♡♡

Berlari dengan sepatu berhak tinggi bukan hal yang mudah bagi Dilla. Sekalipun ia terbiasa menggunakannya. Tapi kali ini, rasa pegal di tumit harus dilupakannya. Demi seseorang, oh, bukan... demi rasa kemanusiaannya.

Satu hal dalam pikirannya, ia harus menemukan Shafa secepatnya. Sebelum terlambat. Tadi, di parkiran belakang Laboratorium Kimia, ia sangat yakin kalau nama yang didengarnya adalah nama rival abadinya, karena hanya satu orang di kampusnya yang bernama Shafa Khumaira Hamid, gadis berkerudung lebar bak sprai di kamarnya.

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang