Epilog

7.8K 367 50
                                    

Tidak salah, ketika kamu memilih untuk menyimpan kata dan menyembunyikan rasa.
Karena memang, tidak semua perasaan bisa begitu saja terwakilkan oleh lisan
Tapi, tetap saja....
Tidak ada orang yang sedemikian sakti dalam menebak isi hati
Kalau mengucapkan dan membuktikan adalah cara untuk mengungkapkan
Maka, lakukanlah keduanya....

(Najmafillah)

♡♡♡♡♡♡♡

Shafa buru-buru mengeluarkan seloyang brownies saat didengar pintu depan rumahnya diketuk nyaris digedor. Mirisnya, ujung kelingking kirinya sampai tersentuh loyang panas. Ia berjalan menyongsong tamu sembari melebarkan kerudung yang sebelumnya disampirkan ke belakang dengan bibir menghisap ujung kelingking.

"Iya sebentaaar," sahutnya lagi, saat ketukan di pintu tak jua berhenti. Lain kali, sepertinya ia harus menempelkan catatan tentang adab bertamu, kalau tamu hanya berkesempatan mengetuk dan memanggil tuan rumah sebanyak tiga kali. "Wa'alaikumussalam."

Pintu terbuka, bibir Shafa yang semula tersenyum, kini berbalik lengkungnya menjadi manyun. "Kamu ya, Ay. Nggak sabaran banget. Jariku sampe melepuh kena loyang panas nih," omel Shafa, menyodorkan jari kelingkingnya.

Tamu bergamis navy itu bukannya merasa bersalah, justru ganti mendengus sebal. "Kamu ya bisa-bisanya, aku diomelin pak Adam, kamunya malah masih pewe di rumah, dekil dasteran," omel Ayla, bertolak pinggang. "Ini pula, apa ini," celemek yang dikenakan Shafa di tariknya, "Masih pake beginian...."

Shafa meringis. "Eh, eeng. Aku kan udah bilang nggak berangkat...."

"Tau ah, bodo amat. Pokoknya aku cuma punya waktu setengah jam buat bawa kamu ke kampus. Kalo enggak, aku bakalan dipecat jadi petugas Lab sama suamimu, yang padahal akunya juga masih masa training. " Lalu Ayla nyelonong masuk menggandeng tangan Shafa.

Shafa mengerem langkahnya, "Ih, nggak usah aja lah, Ay. Aku malu, perut buncit gini main ke kampus." Shafa menunduk, memandangi perutnya yang mulai terlihat membuncit.

Ayla menjentikkan jarinya, "Nah. Justru itu!" serunya. "Kalau tahu pak Adam udah punya istri cantik yang lagi hamil, pasti bu Eva, dosen baru yang kerjanya tebar pesona sama suamimu itu langsung kicep."

Shafa tergelak, ditepuknya bahu Ayla sebelum berjalan melaluinya. "Pikiranmu deh, Ay. Minta di Bayclin tuh, su'udzon terus kerjaannya."

Ayla mengekori Shafa. "Ih beneran tau, aku sering liat bu Eva itu mepetin pak Adam. Pake sok iya banget sampe nyamperin ke lab, padahal nggak ada kepentingan. Lagian, masa kamu tega biarin pak Adam nggak bawa gandengan di acara pentingnya sih. Padahal tadi kalau kamu dateng, bakalan meleleh pasti deh. Masa pak Adam bilang, kalau pencapaiannya sampai diangkat jadi ketua jurusan itu berkat support dari istri dan keluarga...."

Shafa hanya mengangkat bahu.

"Eh, kamu bikin brownies ya, Shaf? Semerbak nih."

"Di dapur tuh, masih di loyang. Kalau mau, bawa aja setengahnya, setengahnya tolong masukin kulkas ya. Aku ganti baju dulu...."

Ayla sumringah, "Alhamdulillahaaah. Aku bawa deh, kalau kamu maksa." Lalu Ayla nyelonong menuju dapur sembari cengengesan.

Shafa geleng-geleng kepala, sahabatnya yang satu ini memang rada-rada unik.

♡♡♡

"Bentar-bentar, Ay. Duduk dulu." Shafa terduduk di kursi kayu dekat parkiran. Diusapnya perutnya dengan lembut. Dahinya berkerut.

"Eh, eh. Mana yang sakit, Shaf?" Ayla panik melihat Shafa yang tersandar, meringis mengusap perutnya. "Aku telpon pak Adam apa gimana?"

Shafa terkekeh menahan tangan Ayla yang akan merogoh totebagnya, "Apaan sih, nggak usah. Aku nggak papa. Udah biasa kok, kalau debaynya lagi gerak atau nendang emang suka rada kram."

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang