Pink Meriah

5.1K 301 30
                                    

"Kamu yakin nggak perlu mencari tahu siapa pelakunya?" Sekali lagi Ayla membaca kertas lusuh di tangannya.

Tak usah kau sok teguh pada agama.
Karena nyatanya, kau tak lebih dari sekedar wanita penggoda.

"Nggak lah. Buat apa?" Masih dengan jas labnya, Shafa duduk di kursi taman tepat depan laboratorium, Ayla mengekor setelahnya.

"Setidaknya kamu bisa mempertimbangkan..." Ayla gemas dengan sikap masa bodo Shafa. "Akan kamu apakan orang yang sudah mengempesi ban motormu dan meninggalkan surat penghinaan sepengecut ini." Ayla meremas kertas di tangannya.

"Biarkan saja. Orang berhak berpendapat dan aku tidak bisa memaksa semua orang suka padaku." Tak ada secuil emosi yang terbaca oleh Ayla dari setiap kata yang keluar dari bibir Shafa.

"Termasuk mendzalimimu?"

"Oh, ayolah Ayla. Kamu lihat kan kalau aku tidak semengenaskan itu."

"Assalamu'alaikum."

Kalimat sanggahan Ayla menguap di udara saat mendengar suara bariton berucap salam.

"Wa'alaikumussalam." Shafa dan Ayla menyahut hampir berbarengan.

"Loh, Ihsan?"

Ayla sama herannya dengan Shafa. "Nggak biasanya nih anak kedokteran main kemari, San?"

Ihsan nyengir canggung. Sebentar ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Iyaa, Mbak. Tadi ada yang perlu saya bahas dengan pak Adam. Jadi harus kemari."

Shafa dan Ayla ber-Oh ria. "Lalu? Kamu ke sini tidak hanya untuk menyapa kami kan?"

Lagi-lagi Ihsan nyengir akan todongan Shafa yang tanpa tedeng aling-aling. "Tadi pak Adam meminta saya untuk mencari mbak Shafa dan beliau minta mbak Shafa menemui beliau ke ruangannya."

Detik setelahnya, bukannya menjawab, Shafa malah melongo dan bertubrukan pandangan dengan Ayla.

"Saya pamit ya mbak Shafa, mbak Ayla. Assalamu'alaikum."

Shafa terkesiap. "Eh, oh. I-iya. Terimakasih, San. Wa'alaikumussalam."

Ihsan mengangguk sebelum kemudian berlalu pergi.

"Cuma pikiranku aja atau kamu emang sekaget itu dipanggil suamimu sendiri?"

Shafa mengernyit. "Oh. Aku cuma belum terbiasa aja." Shafa melepas jas labnya, memasukkan ke dalam ransel dan berdiri. "Aku duluan, Ay."

♡♡♡

"Kemarikan ponselmu."

Shafa terkesiap. Sekalipun kondisi ruang dosen hari itu sepi, rasa canggung berhadapan dengan seorang Adam tentu tak akan mudah ditaklukkan oleh Shafa. Terlebih dengan status barunya yang hanya keluarga dan sahabat terdekat yang tahu.

"Pinjam ponselmu sebentar, Shafa." Melihat Shafa yang sibuk dengan pikirannya, Adam kembali menegaskan permintaannya.

"Eh, po-ponsel?" Shafa tiba-tiba telmi. Pikirannya mendadak cekak. Dirogohnya saku gamisnya dengan cepat. "I-ini, Mas."

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang