Mading dan Secuil Berita

4.5K 285 23
                                    

Ada sesuatu, yang tidak perlu banyak dipikirkan, yakni mencintai seseorang.
Kamu, hanya perlu menikmati pahit manisnya.
(Adam Al-Fatih)

♡♡♡

"Karena kejadian itu. Sampai saat ini Shafa tidak pernah mau naik angkot. Dalam kondisi ramai sekalipun."

Kalimat Hassan ba'da Subuh tadi berputar di kepala Adam. Bahkan ia harus repot-repot memastikan pendengarannya, bahwa izin dari Shafa benar-benar keluar dari bibirnya.

"Mas?"

Tangan Shafa melayang di depan wajah Adam.

"Eh. Oh. Anu... Kamu... yakin mau naik angkot?"

Shafa menelan saliva. Ada bulir keringat mengalir di pelipisnya. Kemudian ia mengangguk ragu.

Hanya demi melihatnya, Adam sampai rela mengutuk dirinya karena ekspresi ketakutan Shafa tak akan ada kalau saja motor yang dipakainya tidak berakhir ke bengkel sementara Shafa tak mampu menyetir Pajero Sport miliknya.

"Aku tidak mengizinkanmu naik angkot."

"Tapi, Mas. Aku_"

"Ku antar."

Shafa membelalak. "Tidak! Mas_"

"Aku ini hanya lecet dan sedikit luka. Kakiku masih cukup fungsional hanya untuk mengantarmu ke kampus."

Dan oke. Shafa harus kembali menelan salivanya, kali ini bukan lantaran rasa takut dan gusarnya. Melainkan karena ia harus rela mendapat menu sarapan tambahan berupa kalimat Adam yang lumayan panjang, hal yang cukup langka, tapi tidak diharapkannya.

Mata Shafa melirik kaki Adam, ngeri melihat perban yang masih membalut lukanya. "Aku nggak jadi ke kampus kalau gitu."

Adam menaikkan sebelah alisnya, "Kamu nggak lupa kan, kalau aku bisa saja menghubungi pembimbingmu karena alasan absenmu yang cukup tidak masuk akal."

Oke. Katakan Shafa durhaka kalau menginginkan_Eng... setidaknya_menggigit jempol Adam, "Seingatku, posisiku saat ini sebagai istri. Bukan mahasiswa Anda, Pak. Jadi aku tidak seharusnya diintimidasi oleh suami sendiri." Shafa mengucapkannya dengan lagak mengangkat dagu dan bersedekap.

Adam terkekeh. Shafa terlalu cerdik untuk diintimidasi oleh kata-kata. "Sini," Adam menepuk sisi sofa di sampingnya. "Duduklah...."

Shafa mengangkat kedua alisnya. Ekspresi ini, ekspresi lugu yang betah Adam melihatnya.

"Kali ini aku menginginkannya. Bukan untuk mengintimidasimu."

Shafa mengulum senyum, lalu duduk tepat di sisi Adam.

"Kalau Mas berharap aku meralat keinginanku untuk nggak ngampus. Maaf saja. Aku tak akan melakukannya."

Adam tertawa. Boleh tidak Shafa yang sekarang ini ia jadikan gantungan kunci, agar bisa dibawanya kemana-mana? "Karena aku sudah menebaknya. Maka aku tidak akan melakukannya."

Shafa menoleh, heran apa mau Adam. Kalau dari pengalaman sebelumnya sih... Eeeng. Adam suka asal sruduk kalau Shafa sedang dalam posisi bersisian seperti saat ini. Duh, membayangkannya saja Shafa harus rela memertontonkan blushing di pipinya.

"Aku ingat. Dulu Hassan pernah bercerita, kalau setiap pulang ke rumah, ada adiknya yang selalu berbaik hati memijatnya. Sampai seluruh lelahnya rontok tak bersisa. Aku... kok jadi iri ya...."

Ish. "Bilang aja minta pijitin." Katakan saja, bahwa Shafa hanya sedang berusaha mengalihkan perhatian Adam, agar tak begitu terpusat ke pipinya yang sudah seperti kepiting rebus.

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang