Patung

4.7K 298 13
                                    

Hampir Shafa lupa bagaimana cara melangkah karena sepertinya pusat koordinasi tubuhnya sedang telmi mendadak. Beberapa detik tubuhnya sempat mengejang dan gagal napas, tepat ketika suara berat itu menegurnya.

"Terima kasih sudah menidurkan mereka."

Sosok itu, Adam, sedang menyambutnya yang baru keluar dari kamar Naura dan Faiz melalui pintu penghubung dengan kamar utama. Penampilannya mampu membuat pikiran Shafa macet. Sosok yang biasa dilihatnya berpakaian resmi dengan kemeja dan celana bahan, kini berubah drastis dengan hanya bercelana pendek dan kaus cream polos tanpa kerah. Bolehlah, Shafa mengkategorikan sosok itu sebagai... euumm, tampan.

"Tidak perlu mengucapkannya setiap waktu, Pak." Shafa menelan ludah, aksi Adam yang menyisir rambutnya yang basah membuat Shafa terusik. Apa kabar jantung Shafa yang sudah entah bagaimana detaknya?!

Ada desah berat yang dibuang oleh Adam. "Dan aku pun seharusnya tak harus selalu mengingatkanmu untuk tidak memanggilku pak ketika aku tidak sedang mengajar."

Shafa tergelak, "Ma-maaf... Engg... Mas." Entah bagaimana, panggilan itu yang tiba-tiba lewat di kepalanya.

Adam mengangguk, ekspresinya masih tak tersentuh. "Tidurlah duluan. Aku akan menyiapkan materi."

Kalau yang ada di hadapannya saat ini adalah seorang Khansa, tentu Adam tak pikir dua kali untuk menyiapkan materi ajar sambil tiduran di ranjang bersama Khansa, seberisik apapun Khansa saat bersamanya. Tapi untuk saat ini, ada rasa canggung yang besar ketika bersama Shafa.

♡♡♡

Adam tahu, ada yang salah dengan dirinya. Entah bagaimana, melihat Shafa dengan baby doll gamis berwarna merah menyala dengan motif beruang di dada membuatnya sempat ingin menerkam gadis yang semakin bersinar kulitnya dengan warna tersebut.

Tapi sebagian besar isi kepalanya masih terpaut dengan bayangan Khansa. Sekalipun dari tampilan keduanya sangat jauh dari sama. Ia tak ingin menjadi lelaki bejat, yang membayangkan wajah wanita lain saat menyetubuhi istrinya. Terlebih, ia menikahi gadis yang kepekaannya di atas rata-rata. Seolah ia cenanyang yang dapat mengintip hati seseorang.

"Mas, aku tidak akan meminta hakku. Lakukanlah hanya ketika mas siap dan menginginkannya."

Hampir Adam tersedak oleh udara yang memburu masuk cuping hidungnya. Adam mendengarnya tepat ketika sebelah kakinya melangkah keluar kamar.

Beberapa detik lalu, Shafa masih malu-malu dan gugup, bahkan tampak kepayahan mengendalikan diri. Dan sekarang, dalam kalimat terakhirnya malam ini, Shafa begitu yakin dan... terluka.

Malam itu, mereka lewati dengan punggung menghadap punggung.

♡♡♡

Adam mengernyit melihat secangkir coklat panas sudah terhidang di atas meja makan. Minuman yang sebulanan ini tak pernah lagi dilihatnya.

Shafa muncul dari arah kamar Naura, sembari menenteng tas sekolah bermotif panda. Wajahnya cerah pagi ini, ditambah gamis hijau muda yang membuatnya segar.

"Kamu yang membuat coklat panas ini?" Dagu Adam menunjuk secangkir coklat di hadapannya.

Shafa mengangguk. "Maaf. Aku pikir Mas menyukainya. Karena hanya coklat itu yang ada di dapur."

Adam menarik kursi, kemudian duduk. Shafa hanya menyampirkan tas sekolah yang dibawanya ke sandaran kursi. Kemudian menyendokkan nasi goreng ke piring Adam.

"Bukan aku yang menyukainya. Aku biasa minum teh madu saat pagi." Adam menerima nasi goreng yang diulurkan Shafa.

"Maaf untuk nasi gorengnya. Eumm. Aku tidak menemukan sayuran di kulkas."

SECOND CHANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang