Pagi ini adalah pagi ketiga puluh Alana di rumah kontrakan barunya. Dengan posisi yang lebih baik di lingkungan yang lebih layak dan jarak yang lebih pendek dengan kantornya, dibandingkan dengan kosnya terdahulu. Sebagai seorang peneliti di sebuah lembaga penelitian pemerintah, Alana jauh lebih sering mengunjungi laboratorium daripada kantor manajemen. Alasan itu pula yang mendukungnya untuk pindah, selain setengah paksaan dari pacarnya. Tidak bisa dipungkiri kalau rumah ini jauh lebih strategis bagi Dean untuk menjemput dan mengantarnya bekerja setiap hari.
Dean memang lelaki seperti yang diharapkan Alana selama ini. Bukan soal penampilan, Dean adalah laki-laki yang biasa saja. Tapi Dean seorang yang cerdas. Sebagai seorang dokter spesialis anestesi yang bekerja di rumah sakit yang cukup besar, bisa dibilang Dean cukup berhasil. Keluarganya juga keluarga dokter. Hanya saja mereka menginginkan Dean untuk punya pasangan seorang dokter yang berpraktek pula. Yah, itu salah satu masalah mereka. Meskipun Alana bergelar dokter, tapi ia lebih memilih jalan keilmuan sebagai peneliti. Bukan seorang praktisi seperti yang diharapkan banyak orang. Tapi nampaknya sampai hari ini Dean bisa menerima keputusan Alana.
Alana sudah siap di teras rumah ketika Dean datang menjemputnya. Tidak seperti biasanya, Dean kusut dan tampak terburu-buru. Ia tampak tidak tenang.
"Kenapa, Dean? Ada operasi cito pagi ini?" tanya Alana sambil bersegera masuk mobil. Dean hanya menggeleng dan masih tidak menjawab sampai mereka melintasi jalan besar.
"Ada pasien meninggal saat operasi kemarin. Sebenarnya bukan kasus sulit, tapi aku khawatir Dirga bikin masalah," jawab Dean setelah jeda yang lama. Dirga adalah koleganya, seorang dokter spesialis bedah tulang. Bukan sekali ini saja operasi Dirga bermasalah, tapi baru kali ini pasiennya meninggal tak lama setelah operasi. Kebetulan yang tak menyenangkan Dean harus bekerja bersama Dirga. Padahal ia jarang ditugaskan untuk operasi ortopedi, meskipun itu juga masih dalam penguasaan kompetensinya. Sekalinya bekerja dengan ortopedi, dia malah bersentuhan dengan masalah.
"Nanti sore, kita makan tempe sambal favoritmu, Dean. Jangan terlalu dipikirkan ya," kata Alana sebelum turun dari mobil. Senyumnya yang cerah ia tebarkan, berharap dapat memperbaiki hari kekasihnya.
Ternyata hari Alana pagi ini jadi sama saja dengan apa yang dikhawatirkan Dean. Tak seperti biasanya ruangan diskusi menjadi ramai dengan hiruk pikuk staf yang menata kursi jauh lebih banyak daripada biasanya.
"Perpisahan, Al, pak Ridwan resign. Dia dipindah ke kantor sebelah, jadi staf ahli Menteri." Wow, pikir Alana, Pak Ridwan akhirnya memetik hasil dari kerja kerasnya. Meskipun jadi staf ahli Menteri tidak akan berlaku selamanya, tapi ini adalah salah satu prestasinya.
"Terus siapa yang ganti, Hil?"
"Belum tahu, Al, yang jelas bukan dari struktur litbang kita. Tampaknya kok dari divisi lain. Aku kuatir pimpinan yang baru nggak ngerti cara kerja orang Litbang." Hilda tampak tidak bersemangat dengan ide pimpinan yang baru. "Tapi gosipnya ganteng banget!" Dan tiba-tiba wajah Hilda jadi bersinar lagi. Begitulah Hilda.Alana tidak lagi memikirkan siapa atasan barunya. Ia juga tidak memperhatikan hiruk pikuk bagian administrasi yang ternyata mendapatkan kehormatan untuk diinspeksi oleh Bos yang baru. Perhatiannya sudah jauh tersita dengan sampel-sampel yang baru datang. Sampai ia lupa dengan janjinya makan dengan Dean. Dan terbitlah kemarahan yang telah bertumpuk di benak Dean.
"Kamu gimana sih? Yang janji bikin makan tempe sambel tuh kamu, Al!" Alana diam saja, ia terlalu capek untuk menanggapi kemarahan Dean. Dan itu justru semakin membakar amarah Dean. "Kamu ini gimana sih???"
"Kalau kamu masih lapar, ayo makan. Aku bikin tempe sambal nanti di rumah," kata Alana berusaha tenang. "Aku tinggal beli tomat aja di supermarket, lainnya sudah ada. "
"Aku antar kamu pulang saja, aku balik lagi ke RS setelah itu."
"Balik? Kenapa? Operasi cito?"
"Iya," jawab Dean sekenanya. Perasaan Alana berubah tidak nyaman. Tidak biasanya Dean seperti ini. Dean selalu cerita pasien apa saja yang dia temui, bahkan pasien cito sekalipun. Dan ia pun menahan rasa jengahnya.Sudah seminggu berlalu dari hari pertama sang bos baru datang. Sudah seminggu pula dari insiden tempe sambel yang membuat jengah. Alana sudah lebih luang dengan sampel-sampelnya. Kali ini Alana bisa kembali memikirkan hubungannya dengan Dean yang entah mengapa menjadi semakin jauh setelah ia lupa dengan janji tempe sambelnya sendiri. Akhir-akhir ini Dean menjawab sms Alana sekedarnya saja, singkat dan menghentikan pertanyaan selanjutnya. Alana pun menjadi enggan mengirimkan pesan atau bahkan menelepon Dean. Pertemuan mereka pun hanya menjalankan kebiasaan saja. Senyum Dean terasa hambar, Alana pun lambat laun menjadi lelah. Lelah dengan hambarnya hubungan mereka saat ini.
Tak seperti minggu-minggu sebelumnya, Dean pergi ke luar kota untuk seminar. Biasanya Dean mengajak Alana serta dan menggunakannya sekaligus sebagai liburan. Kali ini Dean berangkat bersama rombongan Rumah Sakit, membuat Alana enggan ikut serta meskipun hampir semua orang adalah teman-teman kuliahnya juga.
"Siang ini ada rencana ke mana Al?" Dean menelpon saat jam makan siang.
"Nggak ke mana-mana, aku bersih-bersih rumah dan baca novel di rumah," jawab Alana singkat, tapi jujur.
"Kayanya aku extend di sini, Al, udaranya enak sekalian bisa istirahat. Kamu nggak papa kan?"
Alana agak terkejut dengan kata-kata Dean. Tidak biasanya Dean mempunyai rencana tiba-tiba seperti ini.
"Lalu pakaianmu apa cukup buat extend? Perlu aku kirim?" tanya Alana berusaha menutupi kecurigaannya.
"Nggak usah Al, cuma extend 2 hari kok. Aku sama Malik, temen fellow di Kobe dulu. Dia yang atur semuanya."
Hmm, meski agak sangsi, Alana hanya mengiyakan saja. Dia memang tahu Malik, tapi tidak begitu kenal. Sekali lagi Alana menepis keraguannya. Meyakinkan dirinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa.Percakapan itu pun segera berakhir. Alana berusaha untuk tidak memikirkannya, atau khawatir karenanya. Meski begitu, target menyelesaikan bacaan satu novel pun tak tercapai. Mungkin sebaiknya dia jalan-jalan, membuat pikirannya lebih santai dan tenang.
Hari-hari berikutnya bukan hari yang menyenangkan untuk Alana. Kesibukannya menganalisis data tidak cukup menyita waktunya dari pikiran tentang Dean. Tiga bulan terakhir ini, Dean begitu berbeda. Bahkan Alana tidak dapat lagi menjumpai kebiasaannya. Alana tidak pernah mencurigai Dean, apalagi cemburu. Mereka kenal sejak kuliah dan mereka semula adalah sahabat. Namun Dean saat ini bukan Dean yang pernah sangat ia kenal dulu. Hingga puncaknya, Dean datang ke lab Alana dan mengajaknya makan siang, hanya untuk mengucapkan perpisahan.
Alana langsung menerimanya, meskipun ia tak pernah memikirkan untuk berpisah dari Dean, tapi ia sendiri sudah lelah dengan suasana tak pasti yang meliputi hubungan mereka. Dean bahkan tampak terkejut bahwa Alana bisa tampak begitu tenang, menerbitkan sebersit rasa bersalah dan kecewa. Tapi itu tak cukup bagi Dean untuk menarik lagi kata pisahnya. Namun Dean tak tahu, 10 menit setelah Alana kembali ke ruangannya, Alana menangis sejadi-jadinya di kamar mandi wanita.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boss Next Door
RomanceCerita seorang gadis yang ternyata tinggal berdekatan dengan atasannya, seorang duda tampan. Kehidupan si gadis menjadi berbeda, begitu pula si duda muda ini. Akankah kisah mereka menjadi lebih berwarna?