Arian POV
"Sudahlah, ikuti saja. Ayah sama Ibu tidak berharap pangkat tinggi Bang. Kamu sudah jadi aja Ayah sama Ibu sudah bangga. Buat apa kamu mengejar yg belum pasti, ada kesempatan lain knapa tidak dicoba ?"
"Iyaa, Bang. Bener kata Ayahmu. Ibu juga setuju. Yg terpenting kamu bisa meraih cita-cita. Urusan jabatan belakangan. Daripada kamu terpuruk terus begini. Ibu sama Ayah memberimu restu."
Aku hanya diam termenung mendengar nasehat Ibu dan Ayah. Mereka mengharapkanku bangkit, berjuang lagi. Sebenarnya berat hati kalo harus menurutinya, tapi ini demi Ibu dan Ayah. Aku harus lebih membuka hatiku untuk Ibu dan Ayah. Aku turuti nasehatnya.
Dua bulan kemudian, pengumuman pendaftaran calon tamtama TNI AD sudah dibuka. Aku yg masih sedikit ragu harus meneguhkah keyakinanku bahwa ini juga kesempatanku. Siang ini aku janji dg Gita untuk lari siang.
"Huh, capeknya. Liat deh, aku mulai hitam yaa hehehe." Dia tertawa sambil menunjukan tangannya."Hehehehe, kamu meskipun hitam tetep cantik. Tambah manis malahan."
"Dihh, gombal. Ngga ada uang seribu, Bang."
"Ratusan ribu aku terima, Dik. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Ngomong ? Ngomong aja aku dengerin ko."
"Aku mau minta izin sama minta doa. Aku mau nurutin kemauan Ibu Ayahku buat ikut pendaftaran tamtama AD. Hari ini sudah mulai dibuka."
"Iyaudah gapapa, kamu ikutin aja Mas. Siapa tau rezekimu. Aku selalu mendukung yg terbaik. Semangat yaaa." Aku kira dia akan mengeluh, ternyata dia memberiku semangat. Aku buka tasku dan ku ambil setangkai mawar yg ku beli tadi dijalan.
"Ini buat kamu."
"Yaa Allah, kamu itu mas. Makasih." Ia tersenyum senang padaku. Aku sangat senang melihatnya tersenyum seperti itu. Membuatku jatuh cinta kesekian kalinya.
"Kamu yg semangat belajar sama latian ya, kamu udah kelas 12. Bentar lagi kan mulai ujian." Aku mengusap rambutnya yg dikuncir satu itu.
"Siap, bos. Iya bulan depan aku udah mulai ujian praktik sama tulis. Duuh, ga kerasa kalo mau lulus aja. Deket unas pasti bimbel masuk tiap hari Mas."
"Jangan mengeluh, lebih giat belajarnya. Aku yakin kamu pasti bisa lulus dg nilai yg memuaskan. Setelah itu kejar cita-citamu."
"Janji ya, kamu selalu ada buat nyemangatin aku. Janji kalo kita harus bisa sukses bersama, kita ga boleh terpisah. Apapun itu alasannya. Aku takut kalo aku bakal kehilangan kamu." Ia memberikan jari kelingkingnya. Aku melihatnya lalu kuberikan senyuman.
"Aku janji. Kita pasti bersama. Ga akan terpisah apapun alasannya." Aku membalas jari kelingkingnya dg kelingkingku. Lalu kugenggam tangannya. Tenang rasanya kalau aku bisa bersamanya seperti ini.
Kriing... Kriingg... Kriingg...
Gita mengambil telfonnya didalam tas. Ia menjawabnya.
"Halo assalamualaikum, ada apa Dek ?... Mbak habis lari siang nih. Kamu knapa nangis ? .... Apaaaaaa ??? ... Bunda ???..."
Aku lihat dia kaget setelah mendengar kabar sesuatu tentang Bundanya. Lalu dia menangis dan menutup telfonnya."Knapa, Dik ? Ada apa dengan Bundamu ?"
"Bunda... Bunda... Kecelakaan, Bunda kritis di rumah sakit.." Ia menjawab dengan terisak. "Aku harus segera kesana Mas."
"Yaudah, ayok aku antar. Di rumah sakit mana ?"
"Kata Galih di rumah umum. Bundaaaa..."
Aku mengantarnya ke rumah sakit. Sepanjang jalan ia menangis. Aku memacu motorku sedikit ngebut. Sesampai dirumah sakit ia langsung berlari mencari ruangan Bundanya dirawat.
Aku bertemu dg Galih dan Ayahnya.
"Om, gimana keadaan Tante ?" Kulihat Ayah Gita yg bersedih dan lesu. Galih duduk diruang tunggu sambil termenung. Sementara Gita hanya memandangi Bundanya dari kaca pintu sambil menangis."Kata dokter parah, Ar. Bundanya Gita dinyatakan kritis lalu koma. Parahnya ini kecelakaan tabrak lari." Aku kaget mendengarnya. Ayah Gita berlalu dari hadapanku lalu menenangkan Gita yg masih menangis didepan pintu.
Gita POV
Aku masih memandangi Bunda yg sedang ditangani dokter dari kaca pintu ini. Air mataku terus mengalir. Ayah mencoba menenangkanku tapi aku tidak bisa menghentikan tangisan air mataku. Aku sangat khawatir kepada Bunda. Tidak kusangka Bunda menjadi korban tabrak lari hingga koma.Sudah lima hari Bunda belum sadar. Sepulang sekolah aku selalu menunggu Bunda dg Galih dan Ayah. Berharap Bunda bangun. Hingga larut malam aku menunggu tepat disampingnya. Lima hari pula aku sudah menangis. Sampai mataku merah dan terlihat tidak sehat. Airin dan Mas Arian menyempatkan menemaniku ketika sore hari. Ada pula sanak saudaraku yg datang untuk menjenguk dan menemani kami.
Lima hari, seminggu, dua minggu. Bunda belum sadar. Inilah keadaanku yg sangat menyedihkan. Galih sampai tidak masuk sekolah demi menemani Bunda. Sementara aku harus sekolah karena aku sudah kelas 12. Airin selalu setia menemaniku ketika sore, tapi Mas Arian tidak. Ia mulai fokus dan sibuk dg tesnya.
Pukul 15.00 WIB hari kamis, aku yg masih memakai seragam sekolah dan menunggu Bunda bersama Airin tiba-tiba mata Bunda yg tertutup terlihat seakan ingin terbuka.
"Bunda, Bun ?? Bunda ???" Aku memegang tangannya yg lemas. Lalu jari-jarinya bergerak."Git, Tante sadar ntuh. Gue panggil dokter dulu yeee. Elu disini ajee." Airin keluar ruangan untuk memanggil dokter. Mata Bunda terbuka. Alat-alat yg sangat banyak ini masih menempel ditubuh Bunda. Bahkan selang yg dimasukan kedalam mulut Bunda.
"Gitaaaa.." Ucap Bunda lirih.
"Bunda, alhamdulillah Bunda bangun. Bunda knapa sih tidurnya lama. Kita semua khawatir sama Bundaa.." aku menangis sambil menggenggam tangan Bunda. Dilepaskan genggaman itu lalu menghapus air mataku.
"Maafin Bunda yaa Mbak. Gita sudah besar, belajarnya yg giat, semangat latian ya. Jangan lupa ibadah, sholatnya jangan ditinggal. Bunda mau lihat kamu pake seragam TNI seperti yg kamu mau. Buat bangga Bunda, Ayah dan Galih." Terdengar lirih.
"Gita pasti giat belajar ko, Gita pasti semangat Bun. Demi Bunda Ayah sama Galih."
"Jangan nangis, jangan sedih. Kamu itu cantik, sopan, manis dan pendiam. Gaboleh nangis. Gita harus janji sama Bunda kalo bisa mewujudkan cita-citamu sendiri."
"Gita janji, Bun. Gita pasti bisa ko." Tangan Bunda masih menghapus air mataku. Lama-lama tangannya yg halus dan penuh kesayangan itu melemah. Ku pegang tangan Bunda.
"Bunda boleh ga istirahat ?"
"Bunda kelelahan ya ?" Wanita yg sangat kusayangi itu mengangguk sambil tersenyum. Lalu matanya kembali tertutup dan tangannya lemas.
Tiiiiiiittttt....
Kulihat layar yg ada disamping ranjang Bunda menggambarkan garis datar yg panjang.
"Bunda ??? Bunda ??? Bunda bangun dong." Aku menggoyahkan tangannya yg lemas. Tapi nihil. "Bunda... Dengerin Gita. Lihat Gita sebentar Bun. Bundaaaa....." Aku menangis sejadi-jadinya.Dokter dan perawat yg masuk segera menyuruhku keluar, Airin menggandengku. Aku masih menangis. Ku lihat Ayah dan Galih juga mulai menangis. Beberapa menit kemudian dokter dan beberapa perawat itu keluar dg wajah yg lesu. Dokter laki-laki itu memberitahu Ayah.
"Maaf, Pak. Istri bapak sudah tidak bisa kami tolong. Bapak yg sabar yaaa." Kata Dokter itu sambil melepas kacamatanya. Aku mendengar dengan jelas.Saat itulah hatiku runtuh, hidupku gelap, tubuhku lemas. Air mata semakin tidak bisa ku bendung. Ayah memeluk Galih yg menangis terisak. Aku memeluk Airin yg juga ikut menangis denganku. Tidak bisa ku bayangkan lagi rasanya. Wanita yg selalu ku panggil Bunda, kini sudah tiada.
KAMU SEDANG MEMBACA
KULEPAS DIA DEMI CINTA
RandomCerita ini masih berlatar dunia militer. Mengisahkan perjalanan cinta, impian disertai pengorbanan seorang lelaki merelakan wanita yg sangat ia cintai untuk bersanding dg lelaki yg lebih pantas dari dirinya. Kalo ada typonya mohon maaf yaa hehe. Jan...