Part 17

4K 245 0
                                    

Sekarang aku merasa kesepian tanpa Airin sahabatku. Apalagi Mas Arian. Biasanya dia juga sering menghiburku dan mengajakku pergi hanya sekedar melepaskan kebosanan dirumah. Huh, aku kesepian. Tapi aku juga disibukkan dengan persiapanku untuk tes caba wanita TNI AL. Saat bulan puasa, aku terpaksa bolong puasa beberapa hari karena tes tersebut. Dan inilah puasa pertamaku tanpa Bunda. Tinggal Aku, Ayah dan Adek Galih dirumah. Beruntung Ayah menyuruh Mbak Siti, tetanggaku untuk membantu mengurus pekerjaan rumah. Terkadang aku juga membantu Mbak Siti seperti membersihkan rumah atau memasak.

"Kamu harus jaga kesehatan baik-baik, Git. Agar panpus setelah lebaran nanti berjalan lancar. Berdoa yg banyak jangan lupa, sama sholat malam." Ayah menasihatiku setelah buka puasa.

"Iyaa Ayah. Gita mengerti. Rasanya Gita sudah tidak sabar."

"Mbak Gita kalo lolos terus rumahnya tambah sepi dong." Galih berkata. Aku dan Ayah terdiam. Ku lihat foto Bunda di dinding.

"Andai Bunda masih ada, pasti Bunda memberi semangat lebih dan lebih."

"Sudahlah Mbak. Bunda selalu memberimu semangat. Ayah dan Galih juga selalu memberimu semangat kan. Jangan membuat Bunda kecewa."
Aku mengangguk sambil terdiam.

Kriiingg... Kriiingg... Kriiing...
Hpku berdering. Aku lihat sebuah nomor telefon tertera.
'Siapa ya ?' Pikirku. 'Aku angkat saja siapa tahu penting.'

"Halo ? Assalamualaikum ?"

"Waalaikumsalam. Dik ?"

"..." aku kaget, aku hanya diam. Aku mengenal suara dan caranya berbicara.

"Dik ? Apa kamu mendengarku ? Ini aku Arian."

"Mas Arian..."

"Iyaa, ini aku. Apa kabar kamu disana dan keluargamu ?"

"Alhamdulillah, aku, Ayah dan Galih sehat. Kamu ?"

"Alhamdulillah, aku juga baik."

"Kenapa kamu baru ngasih kabar ? Aku nungguin kamu, Mas."

"Maafin aku, Dik. Aku baru diberi kesempatan sekarang untuk telfon lewat wartel di kantin. Besok aku pulang. Aku cuti lebaran 5 hari."

"Serius ?"

"Heem, aku serius. Ka..mu.."

"Halo ? Mas ?"

"Dik.. Dik.."

"..." Terputus. Sinyalnya jelek sekali. Yaa Allah baru saja senang, knapa telfonnya mati. Aku mendengus kesal. Tapi aku sedikit bernafas lega ketika tau kabarnya apalagi dia akan cuti. Ada waktu untuk kami bertemu. Bertukar cerita dan melepas kerinduan. Tapi, bagaimana kalau dia tau kabar kalau aku mengikuti pendaftaran TNI ? Nggak. Tidak boleh. Aku harus bilang pada Ayah, Galih, Pak Santoso dan teman-teman latian supaya mereka tidak bercerita.

Hari ini Mas Arian pulang, tepat di malam takbir. Sore hari aku, Ayah dan Galih pergi ke makam Bunda untuk ziarah. Kami membacakan surat yasin bersama. Membersihkan makam Bunda lalu menaburkan bunga yg masih segar.
"Bunda, besok sudah lebaran. Gita kangen Bunda. Lebaran pertama kali kita tanpa Bunda." Air mataku menetes perlahan.

"Sudah Mbak. Bunda bahagia disurga." Ayah mengusap pundakku untuk menenangkan.

Setelah dari makam kami langsung pulang. Ketika mobil kami masuk kerumah, ku lihat dari jendela mobil. Seorang lelaki duduk di kursi teras rumah. Ia memakai seragam hijau, dg kepala gundul dan sepatu yg mengkilat.
"Mas Arian..."

"Loh, iya tuh Mbak. Itu Mas Arian. Kapan dia pulang yaa ?" Ucap Galih. Aku langsung turun dari mobil lalu segera menghampirinya. Menyadari keberadaanku Mas Arian berdiri. Aku melihatnya dari ujung kepala sampai kaki. Aku tersenyum bangga melihatnya.

KULEPAS DIA DEMI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang