Part 35

5K 284 4
                                    

"Ini juga bagus Dek."

"Semuanya bagus, Mbak."

"Issh, iya nih jadi bingung milihnya."

Aku asik melihat-lihat model undangan pernikahanku dengan Adelia, kekasih adikku Galih. Dua hari yang lalu Galih telah Praspa, kini ia cuti selama lima hari. Baru setelah itu ia akan mulai berdinas di Jakarta.

"Nah, sayang kamu sekalian pilih mau undangan yang gimana. Jadi ntar kita ga repot-repot lagi nyari undangan." Ucap Galih sambil menyeruput segelas teh.

"Kamu mau ngelangkahin Mbak? Ga boleh!" Jawabku ketus.

"Yaelah, orang pernikahan mau beberapa bulan lagi ko. Ga sabar nikah yaa? Hahahahaha."

"Lagian kamu baru aja Letda dua hari kemarin udah milih undangan sekarang. Lamar dulu nih si Adel."

"Aku kan santai, pokoknya Mama sama Papa Adel udah tau kalo Galih mau serius. Lagian Adelia udah aku kasih cincin paja jadi dia ga bakal ragu. Iya kan sayang?"

"Ya tapi kan sama aja aku juga mau kalo dilamar. Eeehh keceplosan. Hahahaha."

"Teruuuss dah terus! Ceplos aja Dek. Biar peka nih cowok."

"Iyaa aku bakal lamar kamu, gantian yaa. Setelah Mbak Gita nikah, aku dinas setahun aku bakal berangkat kerumahmu sama keluarga besarku. Aku lamar. Janji deh."

"Serius amat kamu, Yang." Jawab Adelia sambil melemparkan selembar undangan.

"Ohh, kamu mau yang ini undangannya buat kita nanti?" Galih mengambil undangan tersebut.

"Hei, yang nikah aku. Yang milih undangan tuh aku bukan kalian berdua. Huh, dasar. Hahahaha." Aku pun tertawa disusul Adelia juga.

Minggu demi minggu pun berlalu, aku dan Mas Nando sibuk kesana kemari mengurusi pernikahan. Mulai dari pengajuan, gedung, sesi foto prawedding, menyebar undangan, dekorasi, catering, riasan, gaun dan lain-lainnya. Hingga tidak terasa esok adalah akad nikah. Seluruh keluarga besarku memenuhi rumah untuk membantu keperluan di hari bahagiaku esok. Sedangkan untuk resepsinya akan diadakan di gedung Graha Samudera.


Malam ini rasanya aku tidak bisa tidur. Aku memandangi kedua tanganku yang sudah tergambar hiasan tangan dari hena. Aku memutar kenangan perjalananku bersama Mas Nando. Mulai dari bertemu secara tidak sengaja, mengenal dia, mengingat saat dia masih jutek padaku, hingga akhirnya kami bertemu di satu tempat dinas, cincin paja pertama kalinya yang ia berikan saat berangkat layar, hingga ia meyakinkan dan memberiku cahaya lagi di hati yang pernah gelap karena cinta Mas Arian.

"Yaa Allah, jika dia memang tambatan hatiku yang terakhir maka jodohkanlah aku dengannya. Jangan pernah pisahkan kami selain mautMu. Aku baru sadar, tidak selamanya aku harus memaksakan cinta, tapi aku harus menyadari cinta. Dialah lelaki yang selama ini ku tunggu. Baru aku sadar sekarang."

Air mataku menetes diatas kedua tanganku. Akupun teringat dengan Bunda. Ku lihat fotonya yang terpasang indah di dinding kamarku.

"Bunda, Gita menemukannya. Dia cintaku, Bun. Restuilah kami, jaga kami dari sana. Gita sayang Bunda. Begitu juga Gita dan Mas Nando. Ia pasti sayang sama Gita. Bunda, Gita rindu sama Bunda..." Dengan sesenggukan aku menghapus air mataku yang semakin deras.

Ku lihat Ayah membuka pintu kamarku, melihatku yang sedang menangis Ayah menghampiri lalu duduk di sebelahku. Kedua tanganku dipegangnya dengan lembut. Ayah memandangiku yang masih menangis.



"Bunda selalu bersamamu, Mbak. Begitu juga nanti jika kamu bersama Mas Nando. Bunda pasti bahagia liat kamu menikah dengan orang yang tepat dan dengan pilihanmu. Ayahpun begitu. Besok kamu sudah menikah, Gita anak Ayah yang lucu dulu manja besok sudah disunting lelaki yang soleh, tampan, gagah dan baik hati. Hormati Mas Nando sebagai suamimu nanti, patuhi nasihatnya, bantu dan temani dia dalam susah. Ayah bangga punya gadis kaya' Gita. Ayah sayang sama Mbak Gita." Ku lihat Ayah menitihkan air matanya bersama saat ia menghapus air mataku.

KULEPAS DIA DEMI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang