Part 14

4.1K 276 0
                                    

Rumahku ramai. Orang-orang datang kerumah dg duka. Sementara aku dan Galih setia disamping Bunda yg sebentar lagi dikafani. Air mataku menetes terus. Disekelilingku orang-orang mengaji surat Yasin. Ku lihat wajah Bunda yg putih berseri-seri dg senyum di bibirnya. Betapa cantiknya malaikat tak bersayapku ini. Tapi kenapa Allah mengambil Bunda. Allah sayang pada Bunda, akupun demikian. Tapi kepergian Bunda membuat hidupku terasa hilang. Hilang entah kemana. Keluarga besar dari Ayah dan Bunda datang, mereka juga menghibur aku dan Galih agar tidak bersedih terus. Begitu juga dg sahabat dan teman-teman. Mas Arian dan teman-temannya yg mengenalku juga datang pada hari itu.

Setelah dimandikan, dikafani dan di sholati, jenazah Bunda segera dikebumikan di pemakaman Islam setempat. Ku lihat jenazah Bunda dimasukan kedalam liang lahat, tangisku semakin pecah. Begitu juga dg Galih dan Ayah yg menangis. Setelah dikebumikan, orang-orang mulai kembali. Tetapi aku, Galih dan Ayah masih setia disamping makam Bunda. Airin dan Mas Arian masih menemani kami. Ku usap nisan bertuliskan nama Bunda. Lalu kucium.
"Gita pasti ingat janjiku kepada Bunda. Bunda bahagia disana yaa. Gita sayang banget sama Bunda."

"Galih juga, Bunda. Galih janji ga nakal lagi. Galih pasti bisa bahagiakan Bunda yg disurga. Galih juga sayang banget sama Bunda."

"Bun, tenang disana ya. Ayah pasti membimbing anak-anak kita sampai berhasil. Ayah sayang banget sama Bunda."

__________________________________________________
Arian POV
Sudah 7 hari Gita terlihat pucat dan tidak seperti biasanya. Ia menjadi diam, tidak semangat bahkan dia jarang makan. Semenjak kepergian Bundanya. Aku sangat sedih melihat Gita. Ia tidak masuk sekolah juga hanya karena tidak bersemangat.

Setiap hari aku kerumahnya, aku hanya ingin menemani dan menghibur Gita.
"Mbak, makan gih." Ayahnya memberikan piring berisi makanan. Gita masih diam sambil memandangi foto Bundanya yg dipajang di atas meja perabotan. Aku melihatnya dg sedih.
"Ya begini, Ar. Susah makan. Dua hari dia ga makan saja betah." Ayahnya menjelaskan padaku. Tubuhnya terlihat kurus.

"Aku suapin ya Mbak." Bujuk Galih. Ia hanya mnggelengkan kepala. Galih memberikan piring itu kepadaku. Aku mendekatinya yg masih duduk terdiam.

"Hei. Kamu itu cantik. Kamu mau keliatan jelek gara-gara ga makan ?" Aku mencoba membujuknya. Gita masih diam. Aku letakkan piring itu dimeja lalu aku jongkok dihadapannya. Aku memandangi wajahnya yg pucat. Terlihat jelas kalau dia tidak sehat. Ia melirikku sekilas. "Dilirik doang. Dengerin ya, kamu ga boleh gini terus. Inget janjimu buat Bunda. Bentar lagi kamu juga ujian. Ayo jangan seperti ini. Kamu keliatan berbeda, kamu bukan Gita yg dikenal Bundamu." Aku memegang kedua tangannya.

"Buat apa aku ngelakuin sesuatu kalau Bunda udah ga ada. Percuma." Ucapnya dg mata berkaca-kaca.

"Kamu ga boleh bilang gitu. Kata siapa percuma. Bundamu masih bisa melihatmu dari surga. Apalagi Ayahmu dan Galih masih ada kan. Jangan mengecewakan mereka. Kamu harus bangkit. Bundamu malah bersedih kalau kamu begini. Bangkit, Dik. Yaaa ?" Aku memandang kedua matanya dg baik-baik. Terlihatlah air matanya yg mulai jatuh.

Aku berdiri lalu kupeluk dia yg masih duduk sambil menangis. Sesekali ku usap rambutnya lalu kucium puncak kepalanya. Aku tidak kuasa melihat wanita yg kusayang seperti ini. Beruntung setelah ku bujuk, dia mau makan meskipun hanya beberapa sendok.

Dua hari kemudian ia sudah mulai sekolah, karena minggu depan sudah mulai ujian tulis dan praktik. Airin sahabat yg sangat setia itu selalu ada untuknya, Airin juga tidak keberatan mengajari Gita yg tertinggal pelajaran. Kini ia sudah kembali seperti semula meskipun terkadang ia suka melamun termenung.

Ujian tulis dan praktik di sekolahnya sudah selesai. Hari ini adalah pengumuman terakhir penerimaan catam AD. Aku punya kabar yg baik, jadi ku ajak saja dia pergi ke taman bermain mumpung sekarang malam minggu. Ku jemput dia, Ayahnya tidak keberatan dan memberi izin agar aku juga bisa menghibur Gita.

KULEPAS DIA DEMI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang