Part 33

4.6K 296 12
                                    

Aku melangkahkan kaki menuju tempat Bunda dikebumikan. Masih mengenakan seragam doreng dan memakai jilbab panjang yang ku selempangkan dikedua pundakku. Aku duduk bersimpuh di samping makam Bunda. Ada sebuket bunga mawar tersandar di nisan Bunda. Bunga itu nampak sudah layu.

"Siapa yang datang kesini ya?" Aku mencari sekeliling siapa tau ada penjaga makam agar aku bisa bertanya, namun di sekitar hanya ada orang-orang yang sedang berziarah sepertiku saat ini.


Tanpa penasaran lagi lebih baik aku membacakan yasin untuk Bunda terlebih dulu. Ku ambil buku yasin di tas ranselku dan mulai kubaca. Setelah membacakan yasin dan doa-doa untuk Bunda, ku bersihkan makan Bunda. Ku usap nisan bertuliskan nama wanita yang sudah melahirkan dan membesarkan aku. Bunga mawar yang layu itu ku ambil dan berniat untuk ku buang karena sudah tidak segar lagi.

"Bunda, Gita di lamar Mas Nando. Lihat deh cincin paja ini." Aku memutar-mutar cincin paja pemberian dari Mas Nando.
"Cantik kan? Hehehe. Minggu depan ada pertemuan antara keluarga Mas Nando dan keluarga Bunda sama Ayah sambil bahas tanggal pernikahan kita. Mas Nando tadinya mau ikut kesini juga, tapi Kapten ngajak rapat mendadak. Bunda pasti tau kan kalo Mas Nando lelaki yang baik? Gita ga tau apakah Gita cinta atau tidak sama dia. Tapi dia selalu meyakinkan Gita, Bun. Ishh, kenapa Gita dilema gini ya padahal mau nikah."

Aku pandangi nisan Bunda sambil mengingat masa dimana Bunda masih ada disampingku. Kalau Bunda masih ada pasti aku tidak perlu dilema seperti ini.

"Gita..." Aku mendengar suara seorang lelaki yang tidak asing ditelingaku. Aku pun melihat ke arah orang yang menyebut namaku itu. Ia mengenakan seragam dorengnya lengkap sambil membawa sebuket bunga mawar persis seperti yang diletakkan di sebelah nisan Bunda.

"Mas Arian..." Aku segera berdiri setelah menyadari keberadaan Mas Arian saat ini. Kami saling menatap mata satu sama lain. Sudah lama kami tidak berjumpa dan tidak pernah tau kabar masing-masing. Tapi kami bertemu kembali sore ini.

Ia melangkahkan kakinya mendekati makam Bundaku. Lalu ia meletakkan bunga yang dibawanya. Aku masih melihatnya dengan terdiam tanpa sepatah kata apapun.

"Bagaimana kabarmu?" Ia bertanya padaku.

"A.. Aku... Baik."

"Syukurlah. Bunga-bunga itu aku yang menaruhnya. Aku selalu menyempatkan waktu untuk ke makam Bundamu." Ia duduk bersila sambil menatap nisan Bunda. Aku pun kembali bersimpuh sembari memandangi Mas Arian di depanku.
"Aku selalu merindukannya. Selalu. Bundamu pasti tau."

"Siapa? Siapa yang kamu rindukan?"

Mas Arian hanya membalas senyuman.
"Maafkan aku." Ia mengeluarkan sebuah kertas berwarna merah marun dari saku bajunya. Ia berikan kepadaku.
"Tadinya aku mau mampir kerumahmu untuk memberikan ini, tapi kita bertemu disini jadi ku berikan langsung saja. Meskipun sebenarnya aku berat bertemu denganmu." Ia menatapku dalam. Aku teringat pertemuanku dengan Mas Fajar kemarin lusa. Apa yang dikatakan dia benar. Ku ambil kertas tersebut dan kulihat tulisan didepannya. Arian dan Sarah. The Wedding.

"Kamu akan menikah?"
Mas Arian mengangguk pelan. Entah kenapa hatiku merasa sakit, rasa sakit yang kembali seperti saat aku tau Mas Arian mengkhianatiku.
"Wah, menikah yaa. Hehehe." Aku memaksakan untuk tersenyum sambil tertawa.

"Gita, maafkan aku." Ku lihat lelaki itu meneteskan air mata.

"Maaf? Ngga ada yang salah kan. Mas Arian kenapa menangis? Hehehee. Tersenyumlah. Kalian akan menikah itu pasti bahagia kan."

Mas Arian mengusap air matanya yang terjatuh itu. Lalu ia nampak kaget setelah ia memandangi  cincin paja di jari manisku. Aku menyadarinya dan aku memegangi cincinku.
"Siapa lelaki yang memberikan itu?"

KULEPAS DIA DEMI CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang