13

16.3K 1.4K 27
                                    

Dear readers,

Maaf yaaa... saya hiatus selama bulan ini. Sebenarnya, saya sedang mengerjakan untuk NaNoWriMo 2017 dan BNNS 2017 Jadi, saya ngebut untuk menyelesaikan 50.000 kata dalam bulan ini. Doakan saya, yaaa...

Untuk BNNS 2017, saya membuat cerita teenlit berjudul Little Love yang mengisahkan cewek SMA yang punya keinginan untuk punya pacar. Saking penginnya punya pacar, dia sampai nggak punya cita-cita sama sekali. Yah, mau gimana... dia dikelilingi cowok cakep sih; kakaknya yang super ganteng, tetangganya yang temenan sejak kecil yang bule, teman kakaknya yang juga bule, dan cowok seleb timnas sepak bola Indonesia yang ngejar dia. Siapakah yang dipilih oleh Levy?

Kalau mau baca, saya cantumkan linknya di bio, yah.

Hari ini saya update lagi. Semoga besok saya bisa update lagi, ya. Terima kasih banyak sudah membaca kisah Lee Bexter sampai sejauh ini.

Saya terharu banget sama komen-komennya. Banyak yang sayang sama Abang Lee. Sekali lagi, terima kasih banyak.

XOXO

Honey Dee

***

Dean tidak berhenti mengagumi mobilku. Dia mengucapkan kata "wow" berkali-kali dengan wajah polos. Anak itu jadi terlihat dua kali lebih menggemaskan. Lalu, tentu saja, aku merasa bangga.

Laki-laki akan selalu sama. Usia hanyalah angka yang membatasi berapa harga mainan mereka. Selera mereka terhadap sesuatu yang modern, canggih, besar dan hebat akan selalu sama. Catat itu!

"Kau suka mobil besar, Dean?"

"Ya. Aku sering melihat film mobil besar. Keren!" Dean merapikan sabuk pengamannya. "Pa punya mobil tapi tidak sekeren ini."

Cerita tentang ayahmu adalah hal terakhir yang ingin kudengar hari ini, Bocah.

"Kau mau ke mana?" tanyaku cepat.

Dean mengancingkan sabuk pengamannya, lalu duduk dengan tenang. "Aku tidak tahu. Aku sudah lama tidak keluar rumah."

Tiba-tiba, aku merasa kasihan pada anak kecil ini.

"Aku lapar sekali, Dean. Bagaimana kalau kita makan lalu berjalan-jalan di tempat Ma bekerja?"

"Kau jangan ikut-ikutan memanggil 'Ma'. Cuma aku yang boleh memanggilnya 'Ma'." Dean protes dengan tegas. "Aku atau saudaraku nanti boleh memanggilnya 'Ma'. Kau tidak boleh, Lee."

Aku tersenyum geli. Aku ingin melihat akta kelahirannya. Apa benar anak ini berumur enam tahun?

"Oke. Lalu aku harus memanggilnya apa?"

"Iris. Panggil saja namanya. Kau semalam mengigau memanggil nama Ma terus."

Astaga, buruk sekali. Aku merasa seperti pecundang di depan anak umur empat tahun.

Dean memandang berkeliling sepanjang perjalanan. Dia mengagumi apa yang dilihatnya. Sekalipun dia bisa bicara seperti orang dewasa dan tergolong cerdas untuk anak seusianya, Dean tetap anak berusia empat tahun yang bereaksi dengan polosnya.

Kadang dia bertanya 'apa itu, Lee?' atau 'untuk apa itu, Lee?'. Sehingga aku harus menjelaskan dengan bahasa yang mudah dicernanya, menyenangkan. Rasanya seperti memiliki seorang murid yang selalu ingin belajar dan aku adalah guru yang tahu segalanya. Aku jadi merasa jauh mengungguli Socrates atau Plato.

"Ma bekerja menjual mobil-mobil bagus. Katanya, kalau Ma bisa menjual tiga puluh mobil dalam pameran, Ma tidak perlu lagi bekerja selamanya. Kami akan punya waktu untuk bermain kapan saja," jelasnya dengan antusias.

Aku tersenyum. "Wow, tiga puluh itu hebat sekali!"

"Kau harus lihat Ma. Dia orang yang hebat. Ma sudah menjual sembilan belas mobil hingga sekarang. Aku yakin minggu depan Ma bisa mencapai targetnya. Aku percaya padanya."

Kau dengar dia?

"Aku percaya," ucapku pasti sambil mengedipkan sebelah mata kepadanya.

Dean tersenyum senang.

Syukurlah.

Aku tidak punya pengalaman mengasuh anak kecil. Beberapa kali aku bertemu anak Aston atau anak Pam. Tapi tidak pernah mengasuh anak-anak mereka.

Dean adalah pengalaman pertamaku.

Kupikir, dia akan menggandeng tanganku sepanjang jalan, merengek setiap melihat toko permen atau mainan dan berguling-guling di lantai jika aku melakukan kesalahan. Ternyata tidak. Dia berjalan di sampingku seperti seorang teman dan tersenyum gembira saat melihat hal-hal yang menarik.

Kau bilang Mall adalah tempat paling buruk untuk anak kecil? Lihat aku!

Kami nonton film dengan bekal seember penuh pop corn tiga rasa dan es cokelat setelah kenyang makan di restoran fast food. Dean mengatakan dengan tegas bahwa Iris tidak mengizinkannya minum soda.

"Ini pengalaman pertamaku nonton dengan teman," ucap Dean saat kami duduk di dalam ruang bioskop.

Aku menoleh padanya.

"Biasanya aku nonton dengan Ma dan Pa." Dean mengambil napas sebentar. "Yah, sebelum Ma dan Pa berpisah. Sekarang, aku tidak punya teman. Hanya Ma," ceritanya dengan wajah tersenyum kecil.

Aku mengusap kepalanya. "Aku juga," balasku sambil tersenyum.

Dean menatapku.

"Baru kali ini aku nonton bioskop dengan Thor muda."

Dean tertawa seperti anak-anak.

"Buka matamu lebar-lebar, Thor. Kau akan melihat masa depan." Kubisikkan kalimatku dengan nada suara seperti Batman sampai Dean tertawa terpingkal. Matanya berbinar dan senyum itu—senyum khas anak-anak—membuatku ingat kalau dia selama ini hanya tinggal di kamar sempit dari hari ke hari. Seperti anak anjing kecil kesepian, tapi selalu setia menunggu majikannya pulang. Dia ingin bebas, dia ingin berlari di tengah matahari. Sayangnya, itu adalah hal paling mewah yang bisa diharapkannya sekarang.

Ada sesuatu yang menggelitik hatiku. Rasanya geli dan tidak nyaman. Aku ingin memeluk anak ini. Aku ingin mengatakan kepadanya kalau aku ada di sini untuk menjadi temannya. Rasa yang tidak hilang walau sudah kebuang bersama karbondioksida dari paru-paruku. Aku seperti melihat gambaran Lee kecil di sana.

Apa ini tawa pertamanya selama pelarian dengan Iris?

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A Redemption (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang