Dear Readers,
Huwah... saya pikir bakalan lama nungguin 96K ternyata sekarang sudah sampai 96K. Terima kasih banyak teman-teman. :* :* :*
Oh, ya sekarang saya sedang menulis untuk mengikuti Challenge dari Webcomics selama bulan Januari-Februari 2018 ini. Saya menulis tentang Mika yang mencoba memperbaiki hidupnya setelah melakukan kesalahan besar. Yah, serusak-rusaknya manusia kan punya kesempatan kedua untuk memperbaiki diri, yah. Nah, di sini saya menampilkan tokoh Mika yang cerdas dan keras kepala sebagai tokoh utama. Sayangnya kecerdasannya sama sekali tidak bisa dipakai saat berhadapan dengan Alejandro. Padahal, Mars--sahabatnya-- sudah capek ngasih tahu agar dia berhati-hati. Wew!
Link cerita MINGGAT! ada di bio, yah. klik aja dan jangan lupa tekan bintang di bagian atas cerita, ya. Terima kasih banyak.
Untuk The Ultimate Bachelor; A Redemption akan saya update saat sudah mencapai 98K. Semoga bisa satu minggu lagi, ya. Hihihi...
Oh, ya sebagai bonus saya akan mengajak teman-teman berkenalan dengan Iris setelah ini.
Terima kasih banyak sudah mampir dan membaca cerita ini.
Semoga teman-teman suka dan terhibur.
With Love,
Honey Dee
***
Iris masih tersenyum lebar saat aku sampai di meja dan meneguk minuman. Seorang pelayan yang melewatiku tersenyum sambil mengangguk. Beberapa orang di meja lain masih bertahan memberiku tepuk tangan. Aku mengangkat tangan untuk membalas kekaguman mereka.
Ya, ini sudah biasa. Jarak antara aku dan bintang-bintang itu cuma sejengkal. Kalau bukan karena aku tidak suka dengan hiruk-pikuk pers, saat ini aku sudah mengantongi tumpukan penghargaan. Apa sih yang tidak kumiliki?
"Aku tidak tahu kalau kau bisa bernyanyi," ucapnya dengan senyum yang belum lepas dari wajahnya.
Aku mengangkat alis dan memberinya sedikit tawa. "Bisa? Kau berlebihan. Aku yang terbaik."
Iris tergelak. Aku tidak melepaskan pandanganku darinya. Sial! Bukankah seharusnya aku yang membuat dia terkesan? Kenapa sekarang malah aku yang ingin mendengarnya tertawa lagi? Saat dia diam dan menggeleng. Aku ingin melemparinya uang agar mau tertawa lagi. Aku mau melakukan apa saja untuk mendengar tawa itu lagi.
Otakku berputar mencari cara untuk membuatnya tertawa lagi.
"Dulu aku punya band saat masih kuliah."
"Kau vokalisnya?"
"Drummer."
Iris memandangku tidak percaya. Matanya berbinar. Senyumnya memperlihatkan kekaguman. Tuhan, aku berhasil. Lihat, wajahnya cantik sekali.
"Sungguh?"
"Aku suka musik. Aku bisa memainkan hampir semua alat musik. Aku memilih posisi drum karena kupikir itu keren," jelasku dengan bangga.
Iris tergelak. "Ya, aku suka cowok drummer. Mereka—kau tahu—seksi."
Astaga! Kau dengar dia?
Pujian itu bukan untuk sembarang drummer. Pujian itu untukku, berani taruhan. Kalau aku mengaku pemain bass, Iris akan mengatakan pemain bass itu seksi. Dia ingin memujiku, tapi tidak ingin membuatku besar kepala dan menganggapnya sebagai ketertarikan.
Oke. Aku mengaku. Mulanya, aku hanya memikirkan lagu itu karena memiliki judul yang sama dengan nama Iris. Tapi saat menyanyikannya aku merasa seseorang menamparku. Menyanyikan lagu patah hati dengan menatap wajah Iris membuatku merasa nelangsa. Aku tidak akan membiarkan gadis ini berlalu begitu saja. Aku tidak akan membuatnya berlari dariku lagi.
Aku akan melakukan apa saja untuk membuatnya tetap di sini, bersamaku.
Sesuatu di dalam dirinya membuatku tidak bisa lepas. Sesuatu di dalam dirinya membuatku ingin menahan napas. Aku tidak butuh apapun selain Iris. Aku tidak butuh apapun selain berada di dekatnya, sekalipun harus kukorbankan segalanya untuk bisa mendapatkan kesempatan itu.
Aku menelan ludah. Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba ada sensasi aneh yang masuk ke dalam diriku? Kenapa ada rasa sakit sekali di dalam sini?
"Ada apa, Lee?" Iris mengangkat alisnya khawatir. "Kau melihatku terus." Dia tertawa dengan suara yang membuat pikiranku berantakan.
Aku menggeleng. "Kupikir ... eh, kita pulang saja," ucapku dengan suara tercekat.
Iris mengangguk dan beranjak berdiri. Dia memindahkan Dean agar bisa mengangkatnya seperti bayi. Dengan tubuh mungil begitu, seharusnya Iris merasa keberatan menggendong Dean. Namun, dia melakukannya dengan santai seperti membawa sesuatu yang tidak ada bobotnya sama sekali.
"Biar aku yang menggendongnya," tawarku pelan sambil mengusap punggung Dean.
Iris menggeleng. "Jangan. Dean belum benar-benar terlelap. Dia akan bangun kalau tahu bukan aku yang ada di sampingnya."
"Jelas saja. Pasti empuk di berada di situ." Aku mengedip nakal.
Iris tergelak. "Tempat terbaik untuk seorang anak adalah pelukan ibunya."
Aku menahan tawa. "Bagaimana denganku? Mom tidak punya banyak waktu untuk memelukku."
"Kau yakin?" Iris mengangkat alis dengan prihatin. "Pantas saja kau begitu haus pelukan perempuan. Kau harus segera menemukan gadis yang kau sukai dan nikahi dia. Pelukan penuh cinta akan menyelamatkan hidupmu," ucapnya sambil tertawa, Kubiarkan dia berjalan mendahuluiku, tentu saja agar aku bisa melihat sosok belakangnya yang memikat.
Kalau jujur tidak membahayakan posisiku saat ini, ingin sekali kukatakan kepadanya, 'Saat ini, aku hanya menginginkan pelukanmu, Iris.' Sayang, risiko mengatakan itu terlalu besar. Jadi aku memilih untuk diam saja.
Dia memang aneh. Dia seperti mutan yang punya kekuatan magis. Baru menyentuh bahunya saja aku sudah bergidik. Rasanya seperti ada yang menonjok perutku sampai jantungku berdebar kencang.
Iris menoleh. Cahaya yang lebih terang menyinari wajahnya. Bekas air mata di pipinya membentuk jejak panjang seperti sungai yang kering. Aku ingin mengecup jejak air mata itu. Aku ingin mendamaikan hatinya. Aku ingin menjadi alasan untuknya kembali tersenyum.
"Apa?" tanya Iris yang menatapku dengan mata bulatnya.
Aku hanya bisa menggeleng, malu pada apa yang ingin kukatakan padanya. Lalu, aku cuma berjalan di belakangnya seperti budak tolol. Aku mengikuti langkahnya tanpa berpikir. Aku memang tidak bisa berpikir.
Apa sebenarnya ini? Lee Bexter tidak pernah seperti ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Redemption (Sudah Terbit)
Romance(FINALIS WATTPADLIT AWARDS 2017 KATEGORI ROMANCE DEWASA) Aku Lee Bexter, perjaka, tiga puluh tahun, tampan, dan sukses. Kira-kira itu yang sesuai untukku, walaupun banyak orang yang sepakat kalau tampan saja tidak cukup untuk menggambarkanku. Kata...