12

17.5K 1.5K 21
                                    

Dear Readers,

Horeee...

Akhirnya saya bisa menepati janji untuk update malam ini. yaaayyy...

The struggle is real. hahaha... Saya juga akan update The Only Love We Have, ya. Kalau kalian ada waktu, mampir sebentar di cerita itu, ya. Saya ingin tahu apa yang kalian pikirkan tentang kisah hidup Hellene.

Terima kasih banyak sudah membaca cerita ini sampai bab ini. Saya senang sekali.

Kalau tidak merepotkan, boleh dong bantu saya dengan meninggalkan comment dan vote setelah membaca. Hehehe... Itu sangat berarti banyak untuk saya.

Terima kasih sebelumnya. ^^

Saya lanjut update lagi, ya...

Salam sayang,

Honey Dee

***

Aku terbangun dengan sentakan di seluruh sarafku.

Napasku terengah. Tubuhku seperti tidak bertulang. Bajuku dingin dan basah. Mulutku terasa pahit. Setiap kubuka mata, rasanya seperti dihajar palu. Hangover keparat! Kenapa sampai separah ini, sih? Sudah bertahun-tahun aku tidak merasakan yang separah ini.

Kucoba untuk mengatur napas dan mengendalikan detak jantung. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, memang. Kututup lagi mata dan berhitung mundur dari dua puluh untuk memeriksa tingkat kesadaranku. Yang menjadi masalah adalah di mana aku sekarang.

Kubuka mata pelan-pelan karena kupikir akan menerima cahaya menyilaukan. Ternyata, tempat ini bercahaya kuning yang menyejukkan mata. Perlahan, aku berusaha bangkit sambil mengerjapkan mata yang masih terasa berat. Keluhanku menjadi satu-satunya suara di ruangan ini. Tidak. Ada dengung AC murahan yang mesinnya hampir tidak pernah dibersihkan. Aku benci dengung begini. Benar saja, ada AC di dinding sebelahku. Jangan tanya aku apa mereknya. Dari bentuknya saja sudah jelas AC itu lebih tua dari Selena Gomez. Siapa orang tolol yang memasang benda itu?

Kucoba untuk duduk tegak. Kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Aku berada di dalam kamar sempit. Langit-langitnya rendah dan ditempeli stiker bintang menyala-dalam-gelap. Ada aroma menyenangkan setiap kuhirup napas dalam-dalam, aroma yang kukenal. Tempat tidur ini terasa bersih, nyaman dan sempit. Aku mencoba berguling lagi ke tempat tidur itu. Aroma lavender kental sekali pada bantal yang kupakai.

Iris?

Nama itu membuatku terjaga penuh. Aku menelan ludah, duduk tegak lagi di tempat tidur. Kepalaku terasa nyeri dan perutku mual sekali. Tidak penting. Aku membutuhkan Iris. Aku menginginkannya.

Aku terlonjak kaget. Alih-alih Iris, yang kulihat adalah anak kecil. Anak laki-laki itu duduk diam di kursi mengawasiku, seperti gambaran bocah setan di film-film horor.

Sebenarnya, tidak seburuk itu. Dia anak yang tampan. Matanya sehitam mata Iris. Rambutnya sehitam rambut Iris. Tapi, kulitnya putih pucat. Mungkin, ia mendapatkannya dari ayahnya yang berengsek itu.

"Hai," sapaku setelah mengerjapkan mata.

Anak itu tidak bergerak. Dia tetap duduk tegang seperti manekin.

Aku berusaha mengingat-ingat namanya. Namanya diawali huruf 'D' atau 'T' atau 'B'?

Aku memandang keliling ruangan. Berharap mendapatkan petunjuk.

Kamar ini memang sempit, tapi terasa bersih dan menyenangkan. Buket bunga Iris yang kubawa terpajang di atas lemari kecil. Salah satu sudutnya berisi tumpukan buku dan kertas gambar. Di dindingnya, dihiasi kertas gambar yang sudah diwarnai. Ada tulisan 'DEAN' dengan huruf besar dan warna-warni di sana.

A Redemption (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang