Sudah berkali-kali aku membayangkan bagaimana melakukan seks dengan Iris. Aku membayangkannya mengerang dalam pelukanku dan aku memuaskannya hingga sekuruh tubuhnya meminta lebih banyak lagi. Slow motion, musik romatis, dan senyum yang tidak lepas dari bibirnya sudah cukup lama menjadi bagian dari khayalanku.
Ternyata, khayalanku terlalu lemah.
Yang sebenarnya terjadi adalah kami saling menyerang. Iris membalas semua yang kulakukan padanya. Dia seperti tidak ingin kehilangan kesempatan untuk merebut apa yang kuambil darinya. Tangan kami menyelip di antara pakaian basah. Menjambak rambut dan menekan kulit yang kami lewati.
Iris mendesah. Aku mengerang. Segalanya tetap berlanjut dengan teramat mengejutkan. Bibir kami tidak bisa lepas. Tangan kami saling menggapai dan mencari.
Kuangkat kaki Iris ke pinggangku. Rasanya, aku sudah tidak di bumi.
Dia memekik saat kuimpit tubuhnya ke dinding. Dia membalasku dengan menekan buku jarinya ke punggungku. Astaga! Aku ingin lebih banyak.
Suara eranganya makin serak saat kutekan tubuhnya. Tangan Iris meremas rambutku, membuatku semakin kehilangan akal. Aku membawanya naik menuju kamarku, kamar kami malam ini dan selamanya.
Aku menurunkan kaki Iris dari tubuhku. Kaki itu meluncur dengan gesekan yang membuatku gila. Bibirnya melepasku. Napasnya terengah. Mata hitamnya berkilau sempurna. Dialah dewiku. Dewi yang diutus untuk menyiksaku. Sekarang dia tahu, dia memiliki seluruh hidupku.
Kurasa, aku sudah sinting saat melepas pelan kaos basahnya. Kulitnya basah, memantulkan warna keemasan dari lampu dinding. Aku mundur untuk menikmati keindahannya, persis seperti yang selama ini kuimpikan. Dia memejamkan mata waktu kusentuh lengannya. Tanganku terus meraba lengan hingga dadanya. Lembut.
Aku sempat berpikir dia menggunakam silikon atau apa. Ternyata tidak. Dadanya lembut sekali. Jangan menatapku begitu! Aku sudah mahir dalam hal ini.
Dia membalasku. Iris menyelipkan tangannya ke balik celanaku dan membuatnya meluncur sempurna. Aku sadar aku memanggil namanya saat dia mencakar punggungku. Aku sudah tidak peduli lagi pada dunia. Badai boleh menghancurkan rumah ini dan seluruh dunia. Aku sudah ada di surga.
Aku merangkak ke atas tubuhnya, menindihnya dan terus menatapnya. "Iris," desisku saat tangannya meremas tengkukku. "Aku men..." Suaraku seperti tercekat di tenggorokan.
Apa yang kukatakan? Apa yang mau kukatakan padanya? "Aku men-" apa?
"Mencintainya"? Apa ini cukup sebagai bukti aku "mencintainya"?
Iris melebarkan matanya. Apa dia menungguku?
"Apa?" tanya Iris sambil tersenyum di bawah tubuhku. Wajahnya membuatku kehilangan semua logika. Lidahku terasa kaku, keram dengan berbagai macam ego. Kubiarkan kata-kata itu tertelan bersama dengan ludah yang menyakiti tenggorokan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Redemption (Sudah Terbit)
Любовные романы(FINALIS WATTPADLIT AWARDS 2017 KATEGORI ROMANCE DEWASA) Aku Lee Bexter, perjaka, tiga puluh tahun, tampan, dan sukses. Kira-kira itu yang sesuai untukku, walaupun banyak orang yang sepakat kalau tampan saja tidak cukup untuk menggambarkanku. Kata...