Setelah malam itu, aku menjadi lebih khawatir. Walau masih 3 tahun lagi untuk mengetahui kepastian tentang kemampuan Fibi. Beberapa hal yang mengarah ke sana, termasuk hasil tes IQ, kuambil dan kuamankan. Ada baiknya jika hal ini juga kusampaikan ke Moniq. Dia pasti senang.
Moniq moniq moniq...
Aku belum lama mengenalnya, belum ada seminggu. Dia sudah akrab dengan adik, ibu serta ayahku.
Dalam waktu singkat, ia telah mengubah pemikiranku tentang banyak hal. Tentang kemampuan-kemampuan yang tadinya kupikir mustahil. Tentang kakek moyangku yang sebelumnya sama sekali tidak aku kenal.
Hidupku awalnya sederhana. Kadang rumit jika sudah berbicara tentang Chycil. Huff...
Awalnya duniaku hanya tentangnya, yah, tentangnya. Aku mengenalnya dari teater, dari tempat di mana aku bekerja. Pada awalnya semuanya berjalan normal-normal saja. Sampai pada suatu hari, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan dari dia, tapi dari diriku sendiri.
Dia tidak salah, dia tak melakukan apapun. Perasaanku juga tidak bisa disalahkan. Dengan perbedaan umur yang cukup jauh. Yah, sama dengan perbedaanku dan Moniq, 7 tahun. Hari-hariku menjadi lebih berwarna karenanya. Semangatku untuk menulis naskah juga semakin terpacu. Imajinasiku semakin tinggi. Aku jadi tidak mudah bosan dalam berkarya.
Dia sosok yang baik walau terlihat cuek. Terlihat malas pula. Namun ketika mendapat tanggung jawab, dia cukup dapat menjaga dan menjalankannya. Kemampuan aktingnya juga cukup baik jika dibandingkan dengan teman-teman. Di angkatannya, dia adalah yang paling terakhir bergabung bersama kami. Namun kemajuannya cukup pesat.
Dia selalu berpakaian rapih, sopan, tertutup, namun tetap modis. Kadang-kadang nyentrik juga sih.
Aku sangat menyukai senyum dan tawa nya yang menurutku sangat indah dan menawan.
"Itu karena kau menyukainya kakakku yang bodoh!" kata Fibi ketika aku bercerita kepadanya.
Tiada hari tanpa memikirkan dirinya.
"Lalu apa yang kau mau? Kau mau dia menyukai dan menyayangimu juga? Lalu apa lagi?" ujar Fibi dengan nada kesal.
Bagiku yang terpenting adalah kebahagiaannya. Namun dalam posisiku, aku ingin kebahagiaannya adalah dari perjuanganku. Tentunya aku akan ikut bahagia jika hal itu terjadi. Selebihnya, aku hanya ingin selalu bersamanya, di sisinya, agar aku selalu bisa melihatnya, mendengar suaranya, merasakan kehadirannya.
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu kak." Pada akhirnya dia selalu menyerah.
Aku sendiri tidak mengerti siapa aku dan apa mauku. Hanya berusaha jujur terhadap diri sendiri.
"LINE"
Ada chat...
Dari siapa?
Moniq? Dia ada di kamar Fibi... Untuk apa dia?
Chat dari Chycil.
DARI CHYCIL
"kak, bolehkah aku bertanya?"
Ini baru jam 9 pagi, dia ada di sekolah. Fibi?? Aku berlari menuju ke kamarnya. Kuketuk pintunya. Namun tak ada yang menjawab.Aku segera mencari ibuku. Kudapati dia sedang berada di dapur.
"MA Fibi sekolah?"
Ibuku mengangguk.
"Lalu moniq?"
"Pulang. Dia homeschooling kan?" Jawab ibuku dengan santai sambil mengoleskan selai kacang di roti tawar. Sepertinya dia buatkan untukku.
"Duduklah dulu, makan roti. Biar mama buatkan kopi."
"Tidak, aku...." Aku segera membalas chat dari Chycil.
"Kenapa chyl? Maaf lama balasannya"
Kubasuh wajahku, lalu aku berkaca, meyakinkan diriku bahwa ini bukan mimpi.
"Kamu kenapa sih kak? Jadi mau kopi atau tidak?" Ibuku melihatku keheranan.
"Boleh aku ke rumah?"
Dia? Ingin ke rumahku?
Dia tentu saja sudah gila.
Ini mimpi.
Jelas sekali ini adalah MIMPI!
###
500 KATA
Saya berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap penulisan saya. Ini kali pertama saya menulis sebuah cerita yang entah novel atau bukan. Jika ada saran-saran, silahkan disampaikan. Terima Kasih kepada para pembaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zoey
Science FictionAku hanya seseorang yang menyukai seni dan tidak terlalu peduli dengan keadaan dunia ini. setelah virus menyebar dan banyak orang menjadi korban, mau tidak mau aku harus ikut ambil bagian dalam misi menyelamatkan umat manusia.