(11) Keturunan

295 31 6
                                    

   "Halo zoey, salam kenal dan selamat datang di rumahku. Sudah lama aku ingin bertemu langsung denganmu. Selama ini Moniq selalu mencarimu, sudah hampir..... 11 tahun. Ya 11 tahun sejak kau sekolah di Malang, di sekolah kami juga. Lalu kau pindah entah kemana. Moniq tidak pernah menyerah untuk mencarimu."

   "Mohon maaf tuan. Kalau boleh tahu, siapa nama anda?"

   "Akh, maafkan aku. Aku lupa mengenalkan diri. Moniq tidak pernah menyebutkan namaku? Aku William Jonas Fransque. Tenang saja, aku sedang malas menggunakan kemampuanku. Aku lebih senang berbincang langsung denganmu."

   Kami duduk di ruangan yang cukup nyaman. Sofa empuk berwarna coklat muda, lantai yang terbuat dari kayu, beberapa lukisan terpasang di beberapa sudut. Ruangan dengan warna dominan coklat.

   "Aku menyukai tekstur kayu. Kalau kau mau tahu. Kulihat kau masih memperhatikan ruangan ini."

   "Maaf tuan ..."

   "Ah, panggil saja aku Will, om Will saja."

   "Em, om Will, rumah kami tidak sebesar dan seindah rumah om. Saya masih takjub dengan design rumah ini om."

   Dia tersenyum, jadi terlihat seperti Moniq. Jelas saja, dia ayahnya. Moniq duduk di samping kiriku. Aku seperti orang yang sedang melamar untuk menikahinya saja.

   "Itu harapanku." sahut Moniq.

   "Moniq, berhenti. Itu tidak sopan."

   "Maaf ayah. Aku belum sehebat ayah yang bisa bebas mengontrol kemampuan ini. Setiap aku di dekatnya, aku tidak bisa..."

   "Kan sudah aku katakan Moniq, setidaknya berpura-pura lah seperti tidak melakukannya. Tenang saja. Aku tidak mempermasalahkannya lagi." jawabku santai.

   Aku mulai merasa tenang sejak masuk ke rumah ini. Suasananya begitu damai.

   "Kalau boleh tahu om, apakah ada hal penting yang hendak om sampaikan kepadaku? Karena kupikir..."

   "Ya, ada..."

   Sosok ayah Moniq tinggi besar. Aku yang tingginya 170cm saja merasa dia begitu tinggi. Moniq terlihat sangat kecil jika di sampingnya. Tinggi, tidak gemuk tapi berisi. Namun wajahnya sangat ceria, tidak terlihat tua, tanpa kumis maupun jenggot. Mengenakan batik dan celana bahan berwarna coklat.

   "Sebenarnya aku hendak meminta tolong kepadamu. em... Moniq, bisakah kamu tunggu di luar?"

   "Ayaaaaah aku juga mau dengar. Selama ini ayah tidak pernah merahasiakan apapun dariku. Membuatku penasaran saja."

   "Maafkan ayah, tapi ini penting."

   Raut wajah mereka berdua berubah menjadi lebih serius. Moniq perlahan keluar dan menutup pintu.

   "Dan jangan menguping. Maaf anakku."

   Dia semakin terlihat serius.

   "Moniq sudah memberi tahu apa kemampuan yang kau miliki?"

   "Sudah tuan, eh, om."

   "Itu kemampuan yang sangat langka bahkan tidak dapat diturunkan secara langsung, itulah mengapa kau tidak mengetahuinya... karena ibu mu tak tahu apa-apa."

   Jadi begitu rupanya. Semua jadi lebih masuk akal. Tapi bagaimana dengan Fibi? Apakah dia... tapi...

   "Maaf om, aku berpikir..."

   "Dari mana aku tahu tentang dirimu? Karena kakekku adalah kakek buyutmu."

   "Maksud anda... "

   "Kau dan moniq memiliki kakek buyut yang sama. Itulah kenapa kau tertahan di depan lukisannya tadi."

   "Bagaimana mungkin tuan?"

   "Kakekku pernah menikah dengan seorang wanita sebelum dia menikahi nenekku dan wanita itu adalah ibu dari nenekmu."

   Yah... ayah dan anak ini tidak berhenti membuat hari-hariku menjadi runyam. Kemarin anaknya, sekarang ayahnya.

   Tapi apakah ini mungkin? Mungkin?

   "Untuk apa anda memberi tahu hal ini kepadaku?"

   "Karena... kakekku masih hidup dan kau lah yang bisa menemukannya. Karena kau adalah keturunannya yang paling berharga."

    Aku keturunan yang paling berharga?

###

514 kata

UPS

TERIMA KASIH yang sudah baca
Dan untuk yang vote.

ZoeyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang