07. Tidak Halal

27.9K 2K 107
                                    


Ashel terpaku sebentar.  Agak ragu-ragu, dia pun pergi menuju apartemen yang ditunjuk.  Tubuhnya sudah keringatan akibat berjalan kesana kemari.  Kenapa semua orang terkesan ingin menyusahkannya?  Kenapa harus dia yang menjadi korban disuruh-suruh begini?

Ashel sudah sampai dilantai dua belas dan berdiri di depan pintu yang disebutkan.  Ashel mengetuk pintu.  Cukup lama menunggu dan ia tidak mendapat sambutan apapun.

“Selamat sore!  Ada orang di dalam?” seru Ashel.

Seseorang membuka pintu. 

Ashel tersenyum menatap gadis berhijab di depannya itu.  Gadis itu mengernyit lalu bertanya, “Siapa, ya?”

Kali ini dahi Ashel yang mengernyit.  “Aku Ashel.  Pak Fariz yang menyuruhku kesini.”

Gadis itu menatap Ashel dengan pandangan jengah.  “Aku nggak ada waktu untuk iseng,” ujarnya lalu mengayunkan pintu.

Ashel terkejut menatap pintu yang sudah tertutup di jarak satu jengkal dari wajahnya.  Sebenarnya Ashel gedeg sekali diperlakukan begitu.  Tapi dia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan sebagai bentuk usaha untuk mendinginkan hati.  Meskipun setelah itu Ashel tetap merasa panas dalam dadanya.

Semua itu terjadi gara-gara bos edan itu.  Untuk apa Fariz menyuruh Ashel menjumpai orang yang sepertinya tidak mengenal siapa Fariz.  Ujung-ujungnya Ashel malah jadi seperti orang gila. 

Ashel berjalan meninggalkan pintu dengan perasaan berkecamuk, kesal bukan main.  Dia mengambil ponsel yang berdering dan menempelkan ke telinga tanpa melihat caller ID. 

“Ada apa?” sewot Ashel.  “Jangan nelpon kalo nggak penting!”

“Kamu balik aja lagi ke bawah.  Nggak usah temuin orangnya!”

Itu suara Fariz.  Ashel menatap layar ponsel dan melihat ujung nomer yang tertera.  Tidak salah, itu nomer Fariz.  Berarti Ashel baru saja membentak bosnya.  Tapi ya sudahlah sudah terlanjur dan Ashel merasa bangga sudah membentak Fariz.  Kebetulan dia sedang kesal sekali dengan bosnya itu.

“Baik, Pak,” lirih Ashel sembari memasuki lift.

Ashel kembali dan menemui Fariz dengan muka cemberut.  Sebenarnya Ashel tahu sikap seperti apa yang harus dia lakukan ketika menghadapi masalah, Ashel mendapat pendidikan agama yang baik dari kedua orang tuanya, hanya saja dia tidak pernah menerapkan ilmu yang selama ini dia pelajari.  Teori hanyalah sekedar teori yang dibaca dan didengarkan, kemungkinan akan berangsur lenyap seiring berjalannya waktu.

Fariz menoleh kepada Ashel.  “Sekarang pergilah ke restoran itu, belikan saya nasi kotak.  Bilang aja Fariz yang pesan, mereka sudah tahu menu kesukaan saya.”  Fariz menyerahkan selembar uang kepada Ashel melalui jendela.

Ashel mendengus sebal.  Begini amat jadi anak magang?  Kacung saja mungkin tidak separah ini.  Apa Fariz tidak melihat wajah Ashel yang kini tampak lelah dan berkeringat?  Untung ganteng, kalau tidak Ashel sudah menusukkan jempolnya ke lubang hidung Fariz. 

Meski dengan hati gondok, Ashel tetap menjalankan perintah.  Dia menyeberangi jalan bahkan harus berjalan sejauh tiga ratus meter untuk sampai di restoran yang ditunjuk.  Jika bukan karena demi menyambung hidup, tentu dia tidak akan melakukan hal-hal konyol seperti sekarang.  Karena ini adalah awal untuk mendapatkan karier bagus.

Ashel mesti mengantri diantara banyaknya orang yang juga tengah memesan di sana.  Perutnya keroncongan, air liurnya menggelitik gara-gara melihat makanan lezat yang tersaji di sana.  Tapi uangnya mana mungkin cukup untuk beli makanan seenak itu.

Sementara Fariz meraih ponsel dan membuka youtube, dia mengetik sesuatu hingga kemudian muncul gambar dua bocah seperti tuyul yang sering disebut dengan nama Upin Ipin.  Tawa pria itu pecah melihat aksi dua bocah yang sedang berjoget.

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang