36. Tugas

15.7K 1.3K 180
                                    

"Kau memanggilku?" tanya Ashel saat sudah di ruangan Fariz.

Fariz tersenyum, pria itu memutar kursi goyangnya. Kemudian ia menepuk pahanya. "Sini duduk!"

Ashel membelalak kaget. "Mas, kamu kalau di kantor dan ditempat-tempat umum kok selalu gila, sih?" Ashel mendekati Fariz dan menyentuh kening pria itu dengan punggung tangannya.

Fariz terkekeh. "Aku cuma mau nanya, nanti siang kita makan di restoran mana? Kita kan belum pernah makan di restoran elit."

Ashel mendengus. "Kalau itu terserah kamu mau makan di mana. Kamu yang lebih ngerti dengan restoran."

"Oke. Ingat, nanti pulang samperin aku di depan pintu, ya!"

"Kenapa harus disamperin di depan pintu?"

"Biar mesra."

"Hm... Sekarang aku tau, kamu Cuma mau keliatan harmonis di depan banyak orang. Tapi enggak saat kita berdua." Ashel menatap tajam Fariz. Kini ia mengerti Fariz hanya sedang memperlihatkan kemesraan di depan khalayak umum. Apa untungnya penilaian orang lain?

"Jadi kamu maunya nggak cuma di depan umum aja aku mesra ke kamu? Kamu maunya aku selalu mesra saat kita berduaan? Ya sudah, sini!" Fariz kembali menepuk pahanya. "Mumpung nggak ada orang."

Duez!

Satu hantaman di lengan Fariz berhasil membuat Fariz mengaduh dan memegangi bekas hantaman.

"Mau lagi?" Ashel melotot kemudian balik badan dan keluar ruangan. Ia lupa keluar melewati pintu penghubung antar ruangan. Ashel mengedarkan pandangan dan mendapati seluruh mata menatap ke arahnya.

"Cieee..." Alin mulai.

"Jadi, kalau udah suami istri, gimana perasaanmu waktu berduaan sama suami sebagai atasan?" celetuk Rilan.

Ashel tidak mau menanggapi. Dia duduk di kursi sambil membuka-buka setumpuk kertas di mejanya.

"Shel, antar laporan ini ke Bu Ayesha." Pak Danu mengangkat setumpuk kertas menggunakan kedua tangannya.

Ashel segera menyambut setumpuk kertas tersebut lalu bergegas meninggalkan ruangan untuk menuju ke ruangan Ayesha. Ada sebuah ruangan kosong untuk sampai ke ruangan Ayesha, ruang kosong itu sering digunakan Ayesha untuk menerima tamu. Setibanya di depan pintu yang dituju, Ashel berhenti sejenak untuk menarik napas. Tangannya sudah terayun untuk mengetuk pintu, namun tertahan di udara saat tanpa sengaja mendengar suara saling sahut di dalam.

"Aku nggak bisa ngelupain Fariz."

Deg!

Jantung Ashel berdetak keras mendengar nama suaminya disebut. Tidak salah, yang menyebut nama Fariz itu adalah Ayesha. Ashel mengenal suara Ayesha.

"Kamu udah menikah, Yesha. Reihan itu suamimu," sahut perempuan yang suaranya asing di telinga Ashel.

"Kamu pasti tau banget gimana aku dan Fariz, udah sangat lama kami menjalin hubungan," lanjut Ayesha. "Kantor ini selalu mengingatkanku pada Fariz. Banyak kenangan Fariz yang terus membayang di kepalaku. Aku sungguh nggak bisa ngelupain dia. Setelah aku menikah, aku justru sadar kalau aku sangat mencintainya. Entah berapa kali aku harus mengulang kata-kata yang sama."

"Sha, perasaanmu itu salah. Jangan diterusin. Ada Reihan yang mesti kamu jaga perasaannya."

"Entah kenapa aku harus bergelut dengan dosa ini. Aku terus memikirkan lelaki lain disaat aku sudah memiliki suami."

"Nah, itu kamu tau. Aku paham banget kok gimana perasaanmu, sebab hubunganmu dengan Fariz dulu sudah cukup lama, bahkan kudengar Fariz sempat ingin melamarmu."

Terdengar suara Ayesha mendesah keras.

"Itu sebabnya aku tersiksa dengan perasaanku ini. Aku nggak tau apa yang Fariz rasakan sekarang, setelah aku meninggalkannya dan menikah dengan laki-laki lain, mungkin dia membenciku. Mungkin dia muak padaku. Mungkin dia membuang semua barang pemberianku. Entahlah. Aku takut Fariz membenciku. Hubungan kami sangat kaku sekarang. Bahkan Fariz langsung mendeklarasikan pernikahannya terang-terangan di muka umum setelah aku memutuskan akan menikah dengan Reihan. Nggak lama setelah pernikahanku, dia pun menikah dengan Ashel."

"Ashel itu wanita baru dikehidupan Fariz. Aku sanksi, Fariz melakukan hal gila ini karena rasa sakit hatinya terhadapmu. Bisa aja kan dia nekat mengambil keputusan untuk menikahi Ashel di atas rasa emosi semata?"

"Benarkah?" Suara Ayesha terdengar lebih bersemangat. "Kalau kenyataannya memang seperti itu, berarti dia masih mencintaiku. Aku benar-benar berharap, apa yang dia tampilkan sekarang, tidak sama dengan apa yang dia rasakan."

"Jadi kamu masih penasaran seperti apa perasaan Fariz setelah perpisahan kalian?"

"Mm... Aku nggak bisa membohongi perasaanku, semakin aku berusaha melupakan Fariz, semakin aku mengingatnya."

"Gampang, coba deh kamu teliti, barang-barang yang kamu kasih ke dia, masih dia pakai atau enggak. Kalau masih dia pake, artinya dia masih sangat mencintaimu. Itu cukup jadi bukti perasaan. So, apa aja barang yang pernah kamu kasih ke dia?"

"Sepaket peralatan shalat, mulai dari sajadah putih, sarung putih, peci putih, tasbih hijau muda, sampai mushaf kecil warna biru. Ya, aku ingat itu."

Kali ini lawan bicara Ayesha yang mendesah panjang. "Lebih baik kamu urungkan niatmu mencari tahu perasaan Fariz. Itu hanya akan melukai perasaanmu sendiri. Andai saja kamu tau Fariz masih mencintaimu, lalu apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu bakalan ninggalin Reihan dan balikan sama Fariz? Inget Sha, kamu dan Fariz udah punya kehidupan sendiri-sendiri."

"Memang kami udah punya kehidupan sendiri-sendiri, tapi jika cinta antara kami masih kuat, apa salah kalau kami balikan? Kami punya cinta, kami punya perasaan. Andai kami melanjutkan hubungan yang sekarang berjalan di atas rasa benci, apa kami bukan hanya akan memupuk dosa?"

"Andai itu terjadi, hubungan dua keluarga besar jadi taruhan, Sha. Kalau kamu maunya begitu, seharusnya dari awal kamu menolak lamaran Reihan. Seharusnya sejak awal kamu keukeuh untuk tetap bersama Fariz. Seharusnya sejak awal kamu hancurkan hubungan dua keluarga besar itu, nggak perlu nunggu sekarang. Dan sekarang, ada Ashel dan Reihan, ada banyak hati yang akan terluka, Sha."

"Aku capek dengan hubunganku sekarang. Aku seperti robot yang pura-pura bahagia dan pura-pura mencintai."

"Jangan coba siram lilin dengan minyak kalau nggak mau api kecil yang bersahabat jadi musuh. Ya udah, aku pergi."

Ashel yang sejak tadi menjadi pendengar, segera meninggalkan pintu dan keluar ruangan. Dia kemudian balik badan dan kembali menghadap pintu untuk masuk. Seorang gadis membuka pintu kaca dan berpapasan dengan Ashel. Ashel menganggukkan kepala sebagai tanda menyapa dan dibalas dengan anggukan pula oleh gadis itu.

Ashel melangkah memasuki ruangan perantara, kini pintu ruangan Ayesha sudah ada di depan mata. Perasaannya berkecamuk, antara kesal, marah dan sedih berbaur menjadi satu. Pengakuan Ayesha yang tanpa sengaja ia dengar tadi, membuatnya sangat tidak nyaman.

Aelah ini mau ngetok pintu apa mau berangkat perang ke Palestina, rasanya nggak karuan. Gerutu Ashel dalam hati.


bersambung

Nah, udah pada tau ga? 😂😂😂

Masih nungguin Crazy Boss kan?

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang