08. Kemuliaan Naifa

25.5K 1.9K 115
                                    

Mendengar ucapan Rilan, seketika Ashel teringat ceritera Ayahnya dulu kala, Nabi menganjurkan amalan untuk berbagi kepada sesama, bahwasanya seseorang bertanya kepada Rosulullah SAW, “Apakah amalan yang paling baik di dalam Islam?” Rosulullah menjawab; “Memberi makan, memberikan salam kepada orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal.” (HR.Muslim).

Rosulullah juga pernah bersabda, “Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam di antara kalian, berilah makan, sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah ketiak manusia tidur malam, niscaya kalian akan masuk surga dengan selamat.” (Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad).

Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (HR. Muslim).

Dan yang utama, kebiasaan mentraktir orang lain yang tak lain adalah ahli sedekah dapat meredam kemurkaan Allah dan mencegah dari kematian yang buruk sebagaimana Rosulullah bersabda, “Sungguh bersedekah dapat meredam murka Allah dan mencegah dari kematian yang buruk” (HR. Tirmidzi).

“Sungguh besar manfaat dari mentraktir kalau kau tahu,” lanjut Rilan.  “Mulailah gemar memberi makan orang lain.  Setelah itu... Selamat menikmati indahnya bersedekah.”

Ashel menatap Rilan kagum.  Lelaki yang terlihat biasa saja, seperti tidak memiliki kelebihan, ternyata ada sisi indah yang tersembunyi disebaliknya.  Satu amalan yang membuatnya terlihat mengagumkan, amalan sedekah.

“Semua itu dibalas berdasarkan niat, jangan salah niat, Ril.  Kalau tujuanmu riya’, tetep aja malah dosa yang kau dapatkan,” timpal Rolan yang kerap memanggil nama yang mirip dengan namanya itu dengan sebutan Ril.  Dan Rilan akan membalas dengan sebutan Rol.

“Alhmadulillah, niat dalam hati semoga lurus dan akan terus diluruskan oleh Allah,” cengir Rilan.

“Udah, jangan malah pada berunding, buruan makan.  Keburu keduluan setan.”  Alin menengahi.

Semuanya mulai menyantap hidangan.

“Aku heran sama nih dua bocah tengil.  Pada kebelet kawin apa gimana sih, muda-muda udah pada nikah aja,” ceplos Rolan menatap Ashel dan Naifa silih berganti.  “Yang satu nempel mulu sama suaminya.  Satunya lagi ditinggal suami.  Aku yang umur dua puluh tujuh tahun aja belon nikah.”

“Pst, Rol, mulut kalau ngomong nggak dijaga.”  Alin menyenggol lengan Rolan sembari melirik Ashel. 

“Nggak apa-apa kali, Kak.  Udah biasa,” ucap Ashel yang memang sudah terbiasa dengan stempel janda perawan.  Disindir sudah sering, dikatain langsung juga berkali-kali.  Hanya dirinya yang sudah menikah dan ditinggal mati suami, jadi dia tidak heran lagi apalagi tersinggung.

“Fa, kamu sendiri?  Gimana rasanya hidup berumah tangga?” Alin mengalihkan pembicaraan. 

Naifa tersneyum menatap Alin.  “Awalnya aku nggak nyangka kalau akan menikah semuda ini.  Mas Nathan melamarku dan kebetulan aku merasa suka padanya, sebulan setelah Mas Nathan melamar, kami menikah.  Waktu itu Mas Nathan belum bekerja, tapi nggak sedikitpun aku merasa takut miskin menikah dengannya.  Dan sekarang, rasanya aku menjadi manusia paling beruntung di dunia ini, memiliki suami yang begitu baik, perhatian, penyayang dan sangat bijaksana.  Allah benar-benar menjamin rejeki orang yang menikah, Mas Nathan akhirnya memiliki penghasilan.  Dan aku merasa cukup dengan penghasilan yang dia berikan.  Allah tidak pernah luput dari janji-Nya, sungguh Maha besar Allah yang telah menjadikanku seorang istri dan mengeruk ladang pahala dari suamiku.”

“Apa suamimu ngijinin kamu makan malem bareng kita begini?”

“Mas Nathan orangnya bijaksana, segala yang menurutku baik, pasti dia ijinkan,” jawab Naifa dengan sorot penuh cinta membayangkan suaminya.

“Kenapa tadi kamu nggak pergi sama suamimu aja?  Kenapa malah milih boncengan sama Ashel?”  Alin penasaran sekali dengan kehidupan Naifa yang sudah berumah tangga.

“Suamiku sedang nggak enak badan.”

“Makanya cepetan nikah biar tau gimana berumah tangga,” sahut Rolan melirik Alin.  “Ini umur udah dua puluh lima tapi masih aja ngejomblo, ketuaan entar.”

“Tuhan udah menetapkan jodoh seseorang, kenapa aku harus takut jadi perawan tua?  Percaya aja sama Allah.”  Alin membela diri.

Ashel dan Naifa saling lirik melihat perdebatan orang-orang yang lebih tua dari mereka itu. 

“Shel, jadi kapan kau nikah lagi?” tanya Rolan sambil meneguk jus.

Mereka sudah selesai makan.

“Tunggu nanti kalau udah nemuin malaikat tak bersayap yang sanggup menjadi imam seperti suamiku dulu, yang halus katanya, mulia akhlaknya, dan lembut sikapnya.  Yang utama, tinggi ilmu agamanya.  Harapanku sih begitu, tapi aku pasrah dengan jodoh yang kelak diberikan Allah,” jawab Ashel.

“Oh... Nggak mau sama Rolan aja?” tawar Rilan sembari mempertontonkan barisan giginya.

Yang disebut hanya melirik ke arah Rilan dan tersenyum kecil.

“Kalau Bang Rolan nikah sama aku, nanti Bang Rilan cemburu.  Mendingan sama yang lain aja, deh,” jawab Ashel sekenanya.

“Hahaaa...”  Serentak semua tertawa.

“Jadi gimana Shel?  Udah nggak sedih lagi, kan?  Udah ditraktir, loh,” ucap Rilan.

“Hehe...”  Ashel hanya tersenyum.

Pulang dari restoran, Ashel menghentikan motor tepat di depan rumah Naifa. Seperti biasa, Ashel dan Naifa cipika-cipiki terlebih dahulu sebelum berpisah.

"Hati-hati di jalan." Naifa berjalan menuju teras. Baru selangkah menginjak teras, Ashel sudah berdiri di depannya. "Loh, kok kamu ikut turun?"

"Aku mau jenguk Jonathan. Katamu dia sakit."

"Kurasa dia udah lebih baik."

"Jadi nggak dibolehin jenguk, nih? Udah kadung turun dari motor loh akunya."

"Ya ampun Ashel, bisa-bisanya bilang nggak boleh jenguk. Rumahku kan udah kayak rumahmu juga. Ya udah, kalau memang mau jenguk, ayo masuk!"

Naifa berjalan memasuki pintu dan disusul oleh Ashel.

Naifa berpapasan dengan Jonathan yang baru saja menyembul ke ruang depan. Jaket hitam menggelayut di sebelah bahu lelaki itu.

Langkah Ashel terhenti di ambang pintu. Ia ragu untuk masuk. Tujuannya ke sana ingin menjenguk Jonathan, tapi melihat penampilan Jonathan yang rapi, niatnya urung. Sepertinya Jonathan akan pergi.

Naifa meraih tangan suami dan mencium punggung tangan lelaki itu.

"Assalamualaikum..." ucap Naifa dengan wajah cerah.

"Wa'alaikumsalam... Kenapa baru pulang?" Jonathan melirik arloji di tangan.

Sejenak Ashel meluangkan waktu memperhatikan interaksi hubungan antara Naifa dan suaminya dengan perasaan berbunga-bunga. Naifa selalu bilang, Jonathan adalah lelaki mulia, pasti akan indah bila hubungan mereka diperhatikan.

Jonathan menyodorkan telapak tangan ke arah Naifa seraya berkata, "Mana uang?"

"Kamu mau kemana, Mas? Istirahat di rumah aja dulu. Ini udah malem. Bukannya kamu masih kurang sehat?" Naifa tampak cemas.

"Kamu ngomong apa, sih? Yang kutanya lain, yang dijawab lain. Yang kuminta uang, bukan ceramah," sewot Jonathan.

Ashel terperanjat melihat reaksi Jonathan.

Naifa tersenyum sembari buru-buru mengeluarkan beberapa lembar uang dari tas. Lalu menyerahkannya pada Jonathan.

"Segini?" Jonathan mengernyitkan dahi. "Mana cukup."

"Aku nggak ada uang cash."

"Sini ATM-mu."

"Untuk apa?" Naifa mengernyitkan dahi.

"Temenku mau pinjem uang."

"Untuk apa, Mas?"

"Ya untuk kebutuhan dialah. Lagi pula, sekarang aku mau keluar sama temen-temen. Aku butuh uang. Mau ke warung Pak Anton."

Bersambung...

Spam komen disini..

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang