Ashel terpaku menatap Fariz yang kini mengunyah nasi beserta lauk. Ashel kecewa dengan sikap Fariz. Tidak ada sedikitpun pembelaan dari Fariz untuknya? Ashel kesal kenapa Fariz tidak membelanya, Fariz hanya diam atas perilaku adiknya itu. bahkan sop yang tadi ia masak dengan susah-payah kini bersatu dengan kain lap yang Bik Sari bawa ke dapur.
Ashel berlari memasuki kamar, meninggalkan Fariz yang terakhir kali menoleh ke arahnya saat ia tinggalkan.
Ashel terduduk di sisi ranjang dengan perasaan gondok. Sikap Fariz yang cuek membuatnya merasa tersakiti. Seharusnya Fariz memberi pengertian pada Sabiya, seharusnya Fariz menyuruh Sabiya minta maaf, tapi apa yang Fariz lakukan? Dia hanya diam saja dan membiarkan semuanya berlalu begitu saja. Seakan-akan yang terjadi barusan hanyalah angin lalu.
Ashel mengangkat wajah saat melihat sepasang kaki berdiri di hadapannya. Ia sudah tahu pemilik sepatu tersebut adalah Fariz. Dari aroma tubuhnya saja sudah ketahuan.
“Ada apa? Kok, cemberut” Fariz duduk di sisi Ashel.
Ashel langsung menatap Fariz tajam. “Ada apa katamu? Kurang gimana lagi aku ngejelasin ke kamu?”
“Soal sikap Sabiya?” tanya Fariz enteng.
“Lalu? Soal presiden? Ya iyalah soal Sabiya.”
“Dia itu masih kecil. Udahlah, jangan ambil ahti apa yang dia bilang ke kamu. Biarin aja dia begitu, lama-lama dia juga ngerti sendiri.”
Pernyataan macam apa itu? Ashel kian kesal.
“Sabiya itu udah gede, jangan bilang dia masih kecil terus, nanti pola pikirnya beneran kecil terus. Kalau dia nggak suka sama aku, jujur aku juga nggak suka sama dia. Kamu tau apa yang dia katakan tadi? Dia bilang kalau aku nggak pantes jadi istrimu. Sebab apa? Sebab kita nggak sederajat. Iya, aku sadar diri kok kalau aku berassal dari kalangan bawah, tapi aku dan kamu menikah atas kemauanmu, yang segera aku setujui dan juga Allah ridhai.”
Fariz menatap Ashel santai. Dia membiarkan Ashel meluapkan kekesalan sepuasnya.
“Dan sop yang capek-capek aku bikin tiba-tiba dia tumpahkan. Aku masak sop itu nggak sebentar, dan Sabiya menumpahkannya hanya dalam hitungan detik.”
“Ya udahlah, jangan terlalu diambil hati. Biarin aja Sabiya kayak gitu, namanya juga masih bocah. Akalnya belum jalan. Entar dia bosan sendiri. Kasih dia waktu untuk bisa menerimamu.”
Ashel membeku di tempat. Kata-kata Fariz membuat Ashel hampir jantungan. Sampai detik itu Fariz masih menganggap Sabiya adalah anak kecil. Mau sampai kapan Ashel harus menahan gondok atas perilaku Sabiya?
“Yuk, makan! Nanti kamu sakit kalau telat makan. Aku juga udah laper, nih.” Fariz mengusap permukaan perutnya.
Masih saja Fariz bersikap demikian. Selalu mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau kita pindah rumah.” Ashel berdiri menghadap Fariz.
Fariz mengangkat alis. Kemudian dia tersenyum. “Ayolah Shel, jangan kayak anak kecil. Masak gitu aja trus minta pindah rumah.”
“Apa? Kamu bilang aku kayak anak kecil?” nada bicara Ashel mulai meninggi. “Mas, aku ini manusia. Aku bisa sakit hati.”
“Aku kan udah bilang, sikap Sabiya jangan diambil hati.”
“Nggak bisa. Aku sakit hati dan aku nggak bisa memboongi perasaanku.”
“Kamu sabar sedikitlah.”
“Pokoknya aku mau pindah rumah.”
“Sabar, dong. Aku kan belum punya cukup uang buat beli rumah baru.”
“Berapa uang yang kamu punya sekarang? Seratus juta? Lima ratus juta? Satu milyar? Uang yang ada aja dipakai buat beli rumah seadanya, nggak perlu mewah yang penting kita bisa membina rumah tangga dengan tenang. Cukup itu aja.”
“Nggak semudah itu. Aku kan pinginnya kita punya rumah bagus. Kalau sekarang beli yang biasa aja, nanti mesti pindah lagi, kan? Repot jadinya.”
“Ini masalah harga diri, Mas.”
“Kok, bawa-bawa harga diri?”
“Aku dikatain nggak sederajat sama kamu, lalu apa aku masih bisa berbangga diri menumpang hidup di rumah ini?”
“Shel!” Fariz menarik lengan Ashel dan membimbingnya kembali duduk di sisi lelaki itu. “Siapa bilang kamu menumpang hidup di rumah ini? Sejak aku berikrar untuk menikahimu, sejak saat itu kamu sudah menjadi bagian hidupku. Kamu istriku, sandang, pangan dan papan menjadi tanggung jawabku.” Fariz mengelus lengan yang ia rangkul.
Kata-kata Fariz memang menenangkan, bahkan menyejukkan perasaan Ashel. Namun tidak bisa dibohongi, rasa sakit yang Sabiya tanamkan belum juga lenyap.
"Tapi aku nggak mau hubunganku dengan Sabiya makin memburuk jika aku masih terus tinggal di sini. Aku mau kita ngontrak aja," tegas Ashel.
"Jangan bikin aku malu, dong."
"Kenapa harus malu? Apa mengontrak itu perbuatan hina?"
Fariz menghela napas. "Apa kata Mama sama Papa nanti kalau aku bawa kamu mengontrak. Aku nggak mau mereka salah paham. Mereka pikir kamu nggak betah tinggal di sini."
"Kenyataannya memang begitu. Kalau kamu nggak mau ambil tindakan pada Sabiya, lebih baik kita pindah rumah. Aku nggak mau suatu saat nanti malah kita yang jadi bertengkar gara-gara Sabiya. Kalau kamu nggak mau ngontrak, kita tinggal di rumahku aja." Ashel bangkit berdiri menuju lemari.
Fariz mengerutkan dahi. Dia tahu betul seperti apa rumah Ashel.
"Rumahku memang kecil. Cuma ada dua kamar. Minimalis. Tapi bersih dan asri. Kita bisa tinggal di sana." Ashel mengeluarkan pakaiannya dari lemari dan memindahkannya ke koper.
"Aku nggak ijinin kamu pindah ke sana."
"Kenapa? Kamu malu? Kamu punya rumah besar dan megah tapi harus tinggal di rumah kecil?" tantang Ashel meluap-luap.
Fariz diam saja. Logikanya memang begitu.
"Pokoknya aku mau kembali ke rumah itu. Ijinin aku, Mas."
"Enggak." Fariz menghadang langkah Ashel yang berjalan menuju pintu sambil menarik koper.
"Plis, ijinin aku, Mas."
"Enggak, Shel. Aku nggak ijinin kamu!"
"Kamu suruh aku tinggal di sini tapi kamu juga biarkan aku memendam kekesalan pada Sabiya tanpa kamu berbuat apa-apa pada adikmu itu? Terserah kamu mau ikut apa enggak. Dari pada di sini kita malah hanya bertengkar gara-gara membahas Sabiya, mendingan aku nyari tempat yang bisa membuat hidupku aman, tenang dan damai." Ashel mendorong dada Fariz berusaha menyingkirkan tubuh itu dari hadapannya namun Fariz tidak mau menyingkir. Hingga akhirnya teriakan kecil meluncur keluar dari mulut Fariz saat kakinya diinjak sangat keras. Senjata Ashel memang injakan, dan injakan itu berhasil membuat Fariz membungkukkan badan memegangi kaki.
Saat Fariz lengah, Ashel meloloskan diri. Dengan langkah lebar, Ashel setengah berlari menuju ke luar rumah dan sebuah taksi membawanya pergi.
Sepanjang jalan, Ashel bingung harus membayar taksi pakai apa. Tapi ia ingat Naifa. Dia menyuruh Naifa menunggu di rumahnya dan membayarkan ongkos taksi. Nasib, menjadi istri orang tajir melintir tapi hidup berasa dipelintir.
***
Bersambung
Ini untuk nemenin kalian malam mingguan.
Giman? Masih nungguin CB kan?
Budayakan vote or comment bila suda membaca 😁😁
![](https://img.wattpad.com/cover/86485415-288-k232053.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit)
SpiritualBISA DIPESAN DI SHOPEE. Status Fariz yang awalnya adalah senior Ashel saat SMA, kini berubah jadi atasan di kantor setelah lima tahun berlalu. Pertemuan Ashel dan Fariz membuat Ashel jatuh cinta. Tapi sifat Fariz sulit ditebak, membuat Ashel jadi s...