49. Jujur

13.6K 1.6K 392
                                    

“Mas, kamu kenapa sih nikahin aku?”

Kini giliran perasaan Fariz yang kocar-kacir.  Dia bingung mau jawab apa.  Kenapa tiba-tiba Ashel bertanya begitu?  Apakah Ashel sudah mulai ingin protes?  Apakah Ashel sudah mulai menemukan gelagat buruk dalam diri Fariz?  Apakah sikap Fariz tadi terlalu dingin?  Ya ampun, di situasi begini pun Fariz masih belum bisa menyadari kalau sikapnya memang sangat dingin.

“Bukan karena cinta, kan?” tembak Ashel sekenanya.

Fariz menyelusupkan lengan kokohnya ke belakang leher Ashel. 

“Kamu nih ngomong apa, sih?  Jangan kayak di sinetron-sinetron.  Dikit-dikit yang dibahas cinta.  Aku cinta kamu, aku sayang kamu, aku rindu kamu.  Lebay itu mah.  Sekarang itu yang dibutuhkan fakta, bukan sekedar ucapan.  Percuma laki-laki ngobral kata-kata cinta toh akhirnya cewek yang digombalin nggak dinikahin.  Nah aku, nggak pake ngobral kata-kata cinta, malah langsung nikahin kamu.  Apa itu bukan merupakan bukti besar?”

Ah, Fariz.  Dia memang pintar berbicara.  Lihat saja, Ashel tidak berkutik menjawab sekarang.

Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya Ashel menjawab, “Nikahin perempuan kalau dengan alasan diluar yang ditentukan syariat Islam juga percuma, ujung-ujungnya cuma nyakitin.  Dosa, Mas.”

Gleg.

Fariz menelan dengan sulit.  Rasanya seperti menelan duri.  Kata-kata Ashel membuatnya tercekat.  Iya benar, yang dikatakan Ashel tidak salah.  Fariz masih sangat mencintai Ayesha.  Bagaimana ia bisa menyentuh Ashel sementara perasaannya terpaut pada perempuan lain?

“Aku suamimu, Shel.”

“Tapi aku nggak lihat cintamu ke aku, Mas,” tuntut Ashel.

Duh gawat, Ashel mulai berani bicara.  Fariz membatin.

“Jadi aku mesti gimana sekarang?”

“Jawab aja sendiri.”  Ashel memunggungi Fariz.

Fariz merubah posisi menjadi telentang dan kini bola matanya menatap lampu kamar.  “Kamu marah?” 

Ashel diam.

“Jangan pancing pertengkaran, Shel,” tukas Fariz mulai bernada tidak bersahabat.

Kok, malah Fariz yang sewot?  Disini Ashel yang salah apa Fariz, sih?  Ashel mengerutkan dahi bingung.

“Aku nggak pernah nuntut kamu supaya mencintaiku.  Kamu nggak perlu ajarin aku untuk mencintai dengan cara Islam.  Aku cukup mengerti soal itu,” lanjut Fariz sembari mengubah posisi tidurnya. 

Kini mereka saling memunggungi.

Ashel ingin menjawab, tapi rasanya percuma.  Andai ia menjawab, pasti kekesalan Fariz justru kian menjadi.  Hubungan mereka bukannya semakin dekat, tapi malah berjarak dan ujung-ujungnya berantem.  Mendingan kalau berantem di atas kasur, ini berantem gondok-gondokan.  Kan nggak asik.  Ya sudahlah, untuk malam ini Ashel mengalah.  Diam lebih baik.

Ashel memejamkan mata bersama perasaannya yang berkecamuk.  Sekarang Ashel mengerti bagaimana sakitnya perasaan Arfan yang memiliki cinta bertepuk sebelah tangan.  Ya Tuhan, ternyata begini sakitnya yang dirasakan Arfan.  Ashel kini merasakan luka yang dulu Arfan rasakan. 

Apakah ini ujian-Mu?  Atau teguran-Mu, Ya Allah?

***

Sambil berlari, Fariz menggeleng-gelengkan kepala, berusaha membuang pikirannya tentang Ayesha.  Sejak tadi malam, bayang-bayang wajah Ayesha terus muncul di kepalanya.  Padahal hubungannya dengan Ashel sedang tidak baik-baik saja sejak perseteruan malam itu, tapi kenapa bukan wajah Ahsel yang muncul dalam pikirannya?  Kenapa malah wajah Ayesha?

Lari pagi menjadi kegiatannya akhir-akhir ini semenjak tinggal di rumah Ashel.  Sesekali ia mengusap keringat di wajah menggunakan handuk kecil yang ia selipkan di kantong celana.

Sudah banyak cara yang Fariz lakukan untuk dapat melupakan Ayesha.  Ia sudah menghapus semua foto Ayesha di ponselnya, ia bahkan juga menghapus nomer Ayesha meski nomer yang sebelas digit itu telah tersimpan di memori kepalanya, ia juga selalu berusaha mendekati Ashel supaya ingatannya tentang Ayesha perlahan melebur.  Semua tentang Ayesha, satu per satu sudah dia hapus.  Tapi sosok Ayesha tetap nongkrong dengan nyaman di hatinya. 

O ya ada yang kelupaan, masih ada beberapa benda dari Ayesha yang Fariz belum hapus dari hidupnya.  Barang-barang pemberian Ayesha, baik sajadah, tasbih, sarung, kopiah dan mushaf.  Rasanya masih terlalu sayang untuk memberikan barang-barang itu kepada orang lain.

“Shel, kamu harus sabar ngadepin suami kayak aku.  Kamu harus kuat.  Kamu tunggu aku sampai perasaanku berubah mencintaimu.  Jangan nyerah ya, Shel.  Kamu nggak boleh nyerah.  Aku yakin kamu perempuan kuat.”  Fraiz berbisik, bicara sendirian.  Entah apa yang membuatnya jadi suka bertingkah absurd.  Suka ngomong sendiri, geleng-geleng kepala sendiri, kadang malah senyum sendiri.  Apa itu efek suka nonton film?

Fariz sadar sudah menyakiti Ashel dengan perkataannya malam itu.  Setelah pembicaraan yang sedikit menegang, antara Ashel dan Fariz jarang berkomunikasi.  Mereka duduk berdua dalam satu mobil, mereka jalan beriringan, mereka makan berdua di meja makan, namun tanpa obrolan.  Keduanya membisu.  Hanya bicara seperlunya saja.

***

Bersambung

Masih kezel ga sama Fariz?

Ayo tunjuk tangan yg nunggu CB!  👆

Sampai ketemu hari sabtu... 😘😘

Kalian luarrrrrr biasa.

Salam,

Emma Shu

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang