"Shel, bagusan yang mana?" Alin memegang dua mukena dan memperlihatkannya pada Ashel.
Aneh, Alin yang akan membeli kado untuk Ayesha, kenapa bertanya pada Ashel? Memangnya Ashel mengerti dengan kualitas mukena? Ashel menoleh pada Naifa yang juga tengah sibuk memilih mushaf.
"Fa, bagus yang mana?" Ashel menjepit mukena yang dipilih Alin dan menariknya untuk mempertontonkannya pada Naifa.
"Kamu lebih ngerti bahan kali, Shel," jawab Naifa sekilas menatap ke arah mukena kemudian kembali sibuk memilih mushaf.
Ashel nyengir. Memang Ashel paling mengerti dengan bahan pakaian, style, serta gaya terkeren. Sebut saja dia tidak tajir, tapi gaya dan pakaiannya modern banget. Pintar memilih style, memadukan antara pakaian, sendal, tas dan make up.
"Mm... Yang ini aja." Ashel menunjuk salah satu.
Alin mengangguk dan meminta pemilik butik untuk mengemas mukena, sajadah serta sprei ke dalam kotak dan membungkusnya dengan kertas kado.
Buset, itu mau buat kado apa untuk pindahan? Banyak amat ngadonya? Gumam Ashel.
Jam istirahat kerja, sing itu Alin mengajak Ashel dan Naifa ke butik yang tak jauh dari kantor untuk membeli kado. Cukup menyeberangi jalan, mereka sudah sampai ke butik tersebut.
Wajar saja Alin membeli kado yang tidak murah mengingat yang akan diberi kado adalah atasannya. Ayesha memegang peranan penting di bagian kepala staf, gadis cantik itu begitu dihormati.
Naifa memilih sebuah mushaf dan tasbih. Menurut Naifa dua benda itu akan menjadi amal jariyah ketika keduanya dimanfaatkan. Kado sudah siap dibungkus.
Rolan dan Rilan tampak sedang duduk di kursi dekat pintu. Entah bagaimana pula kedua lelaki itu mengikuti para ladies ke butik sementara mereka tidak membeli kado. Keduanya asik ngemil kacang atom.
"Shel, kamu nggak beli kado?" tanya Rilan menatap Ashel yang terlihat santai tanpa memilih-milih barang.
Ashel menggeleng.
"Kenapa? Yang mau merid ini kepala staf loh, harusnya kamu tuh juga ngado. Apa karena nggak dapet undangan?"
Ashel duduk di sisi Rilan sembari mengedarkan pandangan ke barang-barang yang terpajang di butik muslim tersebut.
"Kenapa? Mahal semua? Kamu nggak punya duit? Perlu berapa?" Rilan mengeluarkan dompet, menjilat telunjuk jari dan membuka lipatan dompetnya.
"Dih, nggak butuh!" Ashel menampik dompet Rilan.
"Jangan remehin, Dek. Gini-gini isinya banyak. Liat nih, jeng jeng jeng..." Rilan melebarkan lipatan dompet, tampaklah selembar uang lima puluh ribuan.
"Aheheheee... Iya banyak, banyak banget malah." Ashel tergelak.
"Hehee.. Lupa kalau tanggal tua. Nasib nasib." Rilan mengembalikan dompet ke asalnya. "Kalau kayak gini, gimana bisa nikah? Tiap bulan Cuma bisa jadi tamu undangan mulu, kapan ngundang orang?"
"Tunggu kau naik jabatan, Ril," sahut Rolan.
"Jangan ngomongin aku doang, kau sendiri juga belum nikah sampe sekarang, Rol."
"Masih muda, entar aja, deh."
"Nggak kebayang gimana cantiknya Ayesha pas di pelaminan nanti. Duuuh... Pasti bahagia banget yang dapet Ayesha," celetuk Rolan sembari membayangkan kecantikan Ayesha.
Ashel tertawa mendengar kata-kata Rolan. Memang benar, Ayesha yang memiliki kehidupan berkeckupuan, jabatan bagus, terhormat, dan memiliki fisik yang sempurna, tentu beruntung Reihan yang akan menikahinya.
"Trus kamu sendiri gimana, Shel?" tanya Rilan menatap Ashel yang mendadak melamun.
"Apanya?" Ashel menoelh ke arah Rilan.
"Itu, Pak Fariz. Kan beliau kemarin bikin sensasi heboh di kantin kantor," sahut Alin.
Muka Ashel memanas mendengar itu. Pasti sekarang pipinya memerah. Ucapan Alin mengingatkannya pada kedatangan Fariz malam kemarin, yang memaksanya untuk mengatakan ya. Ashel rasanya benar-benar seperti ditembak betulan waktu itu.
"Jadi nanti malem kita berlima pergi bareng-bareng ya ke pesta nikahannya Ayesha. Ini udah sepakat, loh," ujar Rolan.
"Kok, berempat, bukannya berlima?" protes Alin sembari menghitung.
"Aku nggak ikutan, Kak. Aku perginya bareng Mas Nathan," ujar Naifa.
"Yang kumaksud berlima bukan sama Naifa, tapi Pak Danu," ucap Alin ngeles, kemudian tertawa nyengir.
"Gila apa, bisa digorok istrinya kalo si domble pergi ke pesta nikahan bukan sama istri malah milih sama kroco-kroco nggak jelas kek kita," timpal Rolan.
"Udahlah, fix, kita berempat pergi ke pesta Ayesha. Biar aku yang jemput kalian satu per satu." Rilan berargumen.
Ashel sebenarnya ingin menolak tawaran yang sejak tadi di kantor sudah dibahas. Dia adalah tetangga Reihan, dia ingin pergi bersama keluarga besar Reihan, bukan dengan teman-teman kantornya.
"Kenapa kita harus pergi berempat sih, Bang?" tanya Ashel polos.
"Ini namanya menutupi aib jomblowan jomblowati. Malu kan kalo kita pergi sendiri-sendiri nggak ada pasangan? Mendingan perginya rame-rame sama temen sekantor, jadi nggak keliatan ngenesnya gitu loh, Dek," terang Rilan. "Emangnya kenapa? Kamu keberatan kalo kita pergi rame-rame? Kamu maunya berdua aja sama Abang?"
Sontak semuanya tergelak. Lidah Rilan memang ringan jika merayu.
"Yuk, balik ke kantor. Ini udah jam masuk. Entar telat." Naifa melihat jam tangannya.
Semuanya beranjak meninggalkan butik.
"Nih, bawa, Dek!" Alin menaruh kado miliknya yang sudah di bungkus ke tangan Ashel.
Untung saja Ashel cepat mengangkat tangan dan menangkap kado yang diberikan, jika tidak pasti kado yang ukurannya besar itu sudah menggelinding ke tengah jalan dan ketabrak mobil.
"Jadi nanti malem aku mulai jemput dari rumah Rolan, trus ke rumah Alin, terakhir ke rumah Ashel," ujar Rilan membayangkan kegiatannya malam nanti.
"Kalau kalian bertiga aja, gimana?" celetuk Ashel membuat tiga wajah di depannya menoleh kaget ke arahnya.
"What? Ngomong apa sih kamu?" tanya Alin. "Kalau kita bertiga doang, entar aku bisa digarap di jalan sama nih dua garongan." Alin menunjuk Rolan dan Rilan.
"Nggak sekejam itu kali, Lin. Kamu pikir kita penjahat kelamin apa?" komentar Rolan ringan. "Palingan juga Cuma digarap trus dikarungin dang."
"Lebih parah. Pokoknya Ashel mesti ikut. Kita harus pergi berempat," tegas Alin mantap.
Ashel tidak berani membantah. Dari pada di kantor dibuli sama mereka, mendingan manut.
Mereka sudah sampai di koridor kantor.
"Ashel!"
Sejurus pandangan menoleh ke sumber suara yang arahnya dari belakang. Ternyata Fariz yang memanggil.
"Ya, Pak?" Ashel menatap bosnya yang sedang berjalan ke arahnya.
"Kamu nanti malam pergi ke pesta Ayesha bareng saya, oke? Jam delapan saya jemput. Saya bawa supir, kok," ucap Fariz kemudian pergi tanpa menunggu jawaban dari Ashel.
Beginikah tingkah seorang bos? Bawahan harus nurut. Tidak boleh membantah. Kalau membantah, sederet ancaman akan menanti.
Kelima manusia di koridor tersebut saling pandang. Ini artinya rencana yang sejak tadi dibicarakan bakalan gagal total. Alin yang tadi memprotes Ashel saat Ashel menolak ajakannya, kini tidak berani ngomong.
"Lah, batal dong rencana kita." Rilan mengacak rambut frustasi.
Satu per satu masuk ke ruangan, meninggalkan Ashel yang terbengong memikirkan nasibnya.
***
Bersambung....
Jangan lupa tinggalin vote....!!!!
![](https://img.wattpad.com/cover/86485415-288-k232053.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit)
EspiritualBISA DIPESAN DI SHOPEE. Status Fariz yang awalnya adalah senior Ashel saat SMA, kini berubah jadi atasan di kantor setelah lima tahun berlalu. Pertemuan Ashel dan Fariz membuat Ashel jatuh cinta. Tapi sifat Fariz sulit ditebak, membuat Ashel jadi s...