20. Will You Marrie Me?

20.1K 1.6K 79
                                    

"Lihatlah, teman-teman saya menganggap kamu adalah pasangan saya. Bersikaplah seperti selayaknya seorang kekasih."

"Dih, Bapak Ge Er."

"Kamu bilang apa?" Tatapan Fariz kembali menajam, ekspresi sangar kembali muncul di wajahnya.

"Eh mm... enggak." Ashel menundukkan wajah dan sedikit menggeser kakinya selangkah agak menjauh dari Fariz, memutar sembilan puluh derajat posisi berdiri hingga kini tidak lagi berhadapan dengan pria itu. muka sadis Fariz membuatnya jadi kaku.

Bagaimana mungkin Ashel akan bersikap selayaknya kekasih? Sedangkan Fariz saja sewot begitu? Kenapa Fariz jadi berubah? Dia seperti amfibi, sebentar manis sebentar sadis, sebentar tersenyum sebentar garang.

Ashel kesal sekali dengan sikap Fariz yang penuh penekanan, terbukti dari caranya menggigit sate dan mengeluarkan dagingnya dari tusukannya. Ashel mengibas-ngibaskan tangan ke depan mulut saat sadar cabe campur kecap yang melumuri daging sate terasa membakar lidah saking pedasnya. Ashel menyambar aqua gelas dan segera meminumnya.

Ashel menoleh ke arah Fariz, namun pria itu tidak ada di tempatnya. Ashel celingukan mencari-cari dimana keberadaan pria amfibi itu. Ya ampun, Fariz pergi begitu saja. Meninggalkannya seorang diri di tempat pesta yang dipenuhi orang-orang tidak dikenal. Untung saja itu adalah pesta pernikahan Reihan, setidaknya Ashel mengenal mempelai pria dan kedua orang tua mempelai prianya. Jadi Ashel tidak seberapa canggung di sana. Anggap saja dia adalah salah satu pengantar pengantin pria.

Sejak tadi, Ashel tidak menemukan keberadaan Alin, entah dimana gadis itu. mungkin sudah pulang. Bahkan Naifa atau siapa saja yang dia kenal, tidak dia temukan di sana.

Lagu romantis yang dipopulerkan oleh Ed Sheeran dengan judul Perfect menggema. Lagu kesukaan Ashel. Ashel menikmati nyanyian itu dengan bibir tersenyum. Sungguh lagu yang romantis. Suara yang menyanyikan juga lumayan. Tapi tunggu dulu, Ashel seperti tidak asing dengan suara itu.

What? Ashel membelalak melihat Fariz duduk di kursi menggantikan vokalis dan kini pria itu sedang bersenandung, sebuah mike dia pegangi di depan mulut. Dia terlihat begitu asik menyanyikannya, sampai matanya terpejam seakan sedang hanyut dalam lagu.

Dasar Fariz, tiba-tiba ngilang, eh ditemukan di sudut ruangan sambil nyanyi-nyanyi.

Musik masih berdenting, namun syair telah usai. Dan Fariz masih terlihat nyaman duduk di kursinya. Mikrofon juga masih dalam genggamannya. Apakah dia akan bernyanyi lagi? Apa masih kurang satu lagu yang tadi dia nyanyikan? Suara pas-pasan tapi Pe De-nya setengah mati. Sensasi apa lagi yang akan Fariz perlihatkan?

Disaat semua orang sibuk menyantap hidangan, ditengah nada yang masih berdenting melo, pandangan Fariz berkeliling lalu ia mendekatkan mikrofon ke mulut, "Assalamu'alaikum warahmatullahiwabarakatuh..."

Semua orang menghentikan gerakan masing-masing. Sejurus pandangan mengarah kepada Fariz. Dua kali Fariz mengucapkan salam, barulah terdengar gemuruh suara menjawab salam.

"Lagu ini saya khususkan untuk seseorang."

Ashel mendadak gugup. Fariz bicara begitu di tengah-tengah pernikahan orang lain, kenapa Ashel yang jadi salah tingkah? Lalu siapa orang yang dikhususkan itu?

"Saya menyukai banyak hal dari dirinya, hijabnya, perilakunya, juga matanya," lanjut Fariz membuat sejurus pandangan mengarah padanya.
Siapa yang tidak kenal Fariz? Dia kelewat Pe De, Ge Er nggak ketulungan, suka nyablak, tak perduli di depan umum sekalipun.

Muka Ashel merah merona. Antara senang, bahagia, malu dan geregetan campur aduk. Ashel menundukkan wajah. Kenapa Fariz senekat itu? Dia benar-benar over percaya diri.

Ashel mendengar komentar beberapa orang di sekitarnya.

"Pemuda jaman sekarang. Ck ck ck..."

"Anak sekarang memang suka sensasi."

"Tapi keren."

Sampai detik itu, tatapan Fariz tidak tertuju ke arah Ashel. Manik mata pria itu mengarah sudut ruangan. Ashel mengikuti arah pandanga Fariz. Dan jantungnya tiba-tiba terasa tidak nyaman saat mendapati Alin.

Fariz masih terus menatap Alin, kemudian dia berkata, "Will you marry me?"

Sekarang Ashel benar-benar membeku dan terdiam. Ucapan Fariz mampu melumpuhkan hatinya. Nyeri sekali rasanya. Bagaimana bisa Fariz menanyakan hal itu kepada Alin setelah semua yang dia lakukan?

Ashel membalikkan badan dan berjalan melewati semua orang untuk segera keluar. Namun belum sempat sampai keluar, Ashel merasakan air matanya merembes begitu cepat. Ashel malu jika kepergok banyak orang sedang mewek-mewek begitu. Sehingga Ashel mencari tempat gelap untuk bisa menangis, tepatnya di balik dinding samping rumah. Di sana lumayan sepi, jarak keramaian sekitar tiga meter. Dan dia bisa meluapkan tangis sepuasnya di sana tanpa ada yang mendengar. Meskipun mulutnya mangap lebar dan suara tangisnya kencang, pasti tidak akan ada yang mendengar mengingat suara musik dan keramaian di sekitarnya lebih keras dari tangisannya.

"Maaak Paaak... Jelek bener nasib anakmu ini. Baru aja dikasih harapan tinggi sekarang dijatohin. Apa karena Fariz bosen nunggu jawabanku kali yah? Dia ngerasa kelamaan digantungin? Entahlah, capek, deh. Capeeeek...!" Ashel menggerutu sendiri sambil menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan. "Huhuuuu..." Tangisnya pecah.

"Ashel! Kenapa kamu di sini?" suara Fariz dari arah samping mengejutkan Ashel. "Ngapain di tempat gelap-gelapan kayak gini? Kalau digondol genderuwo gimana?"

Ashel bingung harus menoleh atau bagaimana? Mukanya kini sedang dibanjiri air mata. Pasti jelek sekali disaat dia sedang mewek begitu.

"Bodo amat."

"Loh, kok marah? Kamu lagi nangis, ya? Salah saya apa? Apa karena ninggalin kamu nggak bilang-bilang? Atau karena ungkapan di mikrofon tadi?"

"Pake nanya lagi. Ngapain Bapak kesini?" Akhirnya Ashel menoleh tanpa perduli mukanya yang sembab. Dia sebenarnya ingin menyembunyikan wajahnya itu, tapi bagaimana caranya? Ya sudahlah, terpaksa diperlihatan saja.

"Hahaaaaa...." Fariz tergelak.

"Kenapa Bapak ngetawain saya? Muka saya jelek kalau lagi nangis?"

"Iya jelaslah. Liat deh kayak ondel-ondel gitu."

Masak sih wajah yang sudah dipoles bedak selama satu jam dibilang kayak ondel-ondel? Ashel langsung mengusap air matanya dengan punggung tangan, secepatnya merubah ekspresi wajah supaya tidak mendung.

"Nah, gitu, dong! Yuk, kita kembali ke tempat tadi. Kita makan sekenyang-kenyangnya, biar kamu cepet gemuk. Jelek kalau kurus."

"Bapak nggak nanyain kenapa saya nangis?"

"Tadi kan sudah saya tanya, tapi kamu nggak jawab."

Ashel tercekat dan tidak bisa bicara.

"Ya sudah, saya tanya lagi, kenapa kamu nangis?" tanya Fariz.

"Ah, udahlah, Pak. Nggak penting."

"Ya sudah, yuk kita kembali ke tempat tadi."

Begitu saja? Fariz tidak penasaran kenapa Ashel menangis? Fariz tidak berjuang mempertanyakan alasan apa yang membuat Ashel pergi dan ngumpet di sana demi membuang air mata? Fariz memang tidak peka. Ashel benar-benar tidak puas dengan sikap Fariz.

Bersambung...

Budayakan vote dan komen setelah baca

Maaf, cukup lama hiatus..

MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang