Fariz mengusap wajah kasar lalu menatap telapak tangannya yang baru saja mendarat di pipi Sabiya, muncul ekspresi menyesal di wajah ganteng itu.
“Mas, tadi itu Mas kelewatan sama Sabiya. Kenapa mesti pakai mukul segala? Tuh, Sabiya sampai nangis kejer jadinya.”
Iyeeek... Entah dari mana ilmu ngibul muncul di kamus hidup Ashel. Dalam hati dia sedang bersorak gembira, tapi lidahnya bisa bilang sedih dengan ekspresi lebay dan kening mengerut-erut. Sudah sejak dulu Ashel mengharap sikap Fariz setegas itu terhadap Sabiya. Sekali-kali Sabiya perlu dikerasin supaya tahu tata krama. Sekali lagi, ampuni Ashel yang bersikap demikian, Ya Allah.
“Diemin tuh Sabiya! Bujuk sana! Minimal kasih permen atau apalah gitu biar nggak mewek lagi,” celetuk Ashel.
“Kamu ini, bisa banget ngomong begitu. Biarin aja dia tenang dan puas-puasin nangisnya.”
“Bukannya gitu, Mas. Ini demi kebaikan hubunganmu dengan Sabiya. Mendingan kamu temui Sabiya dulu. Ajak dia bicara baik-baik, kasih dia pengertian. Kamu bicara juga masalah ini ke Mama juga, jadi masalah bisa klir dan nggak akan ada kesalahpahaman.”
“Kamu bener.”
Belum tau dia kalau istrinya ini cerdas.
“Tapi setelah ini kamu minta maaf juga sama Sabiya, ya!”
Apa? Minta maaf? Sama Sabiya? Ogah banget. Ashel membelalak kaget.
“Walau bagaimana pun Sabiya itu kan adikku. Kamu harus bisa bujuk dia sampai akhirnya dia bisa nerima kamu. Aku ingin tahu cara jitumu dalam menaklukkan hati sekeras Sabiya. Kamu pasti bisa.”
“Enggak akan!” tegas Ashel dengan tatapan tajam. “Dalam kasusu ini, siapa yang menghina? Siapa yang sewot? Trus siapa pula yang disuruh minta maaf? Kenapa malah jadi aku yang seakan-akan bersalah di sini? Bukan maksudku berlagak kayak anak kecil yang nggak mau minta maaf duluan, tapi ini perkara meluruskan masalah.”
“Ngertiin dikit Sabiya dong, dia kan jauh lebih muda darimu. Masak nggak mau ngalah sama anak kecil.”
Ya ampun, Fariz nyebelin banget. Kenapa sekarang malah Ashel yang disuruh minta maaf? Bukannya Ashel tidak mau mengalah, tapi dia ingin meluruskan masalah dengan cara bermartabat. Bukan menjatuhkan diri dengan minta maaf. Masih banyak cara lain untuk mendekati Sabiya tanpa harus meminta maaf. Kalau Ashel minta maaf, Sabiya tidak akan pernah mengerti bahwa dia berada di posisi yang salah, tapi justru ngelunjak dan merasa menang.
“Justru aku mau tau tugasmu sebagai suami dalam memecahkan masalah ini, Sabiya itu adikmu, kamu yang jauh lebih mengerti luar dalamnya dia. kamulah yang bertugas mendinginkan hubunganku dengan dia.”
“Shel, aku bukannya...”
“Udahlah Mas, aku males berdebat,” potong Ashel kemudian balik badan.
“Kamu mau kemana?” seru Fariz melihat Ashel melenggang pergi.
“Kamu selesein aja masalah Sabiya. Aku mau nemuin Pak Roby, nyelesein tugas. Tugasku kan belum selesai,” ketus Ashel tanpa menoleh.
“Kamu pergi sendiri? Nggak perlu kuanterin?”
Cieee... tumben perhatian. Yang begini nih yang bikin Ashel melambung. Mamas ganteng tidak perlu pakai jurus menggoda, hanya dengan mengajukan pertanyaan itu, cukup membuat Ashel deg-degan. Halah, gampang banget luluh hanya karena diperhatikan dengan kata-kata begitu.
“Nggak usah. Aku sendiri aja. ”
“Kamu hati-hati, ya!”
Ashel tidak menjawab. Padahal hatinya berbunga-bunga diberi ucapan suruh hati-hati. Jarang-jarang Fariz bicara perhatian begitu. Jantung, apa kabar kamu di sana? Degupnya kencang amat?
Fariz kembali masuk ke rumah. Benar dugaannya, Sabiya tengah menangis sesenggukan di pangkuan Mamanya yang tengah duduk di sofa. Fariz sengaja berdiam diri di ambang pintu mendengar pengaduan Sabiya.
“Ma, Mas Fariz nampar aku tadi. Dia marah-marah sama aku kayak kerasukan iblis neraka jahanam.”
Fariz mengulum senyum. Ya kali iblis di neraka ngeluyur. Ada-ada saja.
“Emang kenapa Masmu bisa sampe nampar kamu?” Fatma memegang pipi Sabiya dan memperhatikan bagian yang merah bekas tamparan. “Ya ampun, sampe merah begini? Ini bisa-bisa darahnya beku trus kulitmu nggak balik-balik, nih.”
“Mamaaaaa....” Sabiya menjerit kesal. Disaat sedang galau tingkat akut, Mamanya malah meledeknya.
“Ya sudah, lanjutin, tadi ngomong apa?” Fatma mulai serius.
“Mas Fariz jahat, dia tega nampar aku Cuma karena aku berdebat sama Kak Ashel. Cuma gara-gara ngebelain Ashel, dia sampe harus menamparku.”
“Emang kamu sama Ashel debat soal apa?”
“Huhuuuuuu....” Bukannya menjawab, Sabiya malah sesenggukan.
“Sabiya nggak suka sama Ashel, dan nggak seharusnya Sabiya ngata-ngatain Ashel,” sahut Fariz yang berjalan mendekat kemudian duduk di sisi Mamanya.
Sabiya terkejut mendengar pembelaan Fariz. Gadis itu bangkit lalu memalingkan wajah dan berlari meninggalkan ruangan.
“Haduuuh... Ini kenapa jadi runya begini?” Fatma geleng-geleng kepala.
“Benar kata Ashel, Sabiya nggak berkenan menerima Ashel jadi istriku, Sabiya mengharapkan Asyesha yang jadi pendampingku. Mungkin dia kecewa karena Ayesha yang terlanjur dia kagumi, diganti dengan Ashel yang mungkin nggak ada kekaguman di hatinya,” tukas Fariz dengan sorot mata kosong. Mendadak ia galau bila harus mengingat Ayesha, sang mantan. Sebab hubungannya dengan Ayesha sudah seperti Romeo dan Juliet, narsis banget. Tapi begitu Fariz akan melamar Ayesha, gadis itu justru menjawab dengan keputusan yang mencengangkan, Ayesha memutuskan untuk menikah dengan Reihan. Untung saja Fariz tidak punya riwayat penyakit jantung.
Fatma mengenal Ayesha dengan baik, sudah lama Fariz berhubungan dekat dengan gadis itu. Fariz juga sering membawa Ayesha ke rumah. Fatma mengenal Ayesha sebagai wanita yang taat agama, sopan dan dermawan. Di mata Fatma, Ayesha adalah perempuan baik, begitu juga Ashel yang menurutnya juga baik. Tidak ada yang membedakan antara dua wanita itu.
“Mama turut sedih sewaktu Ayesha memutuskan untuk meninggalkanmu, tapi Allah menggantikannya dengan wanita yang nggak kalah baiknya. Pertanyaan Mama sekarang, kamu nggak jadikan Ashel sebagai tempat pelampiasan kekecewaanmu, kan?”
Fariz mendongak dan menatap Mamanya. Pertanyaan tadi ngena sekali.
“Sikap kamu yang ogah-ogahan gitu sama Ashel, bikin Mama curiga kalau Ashel adalah tempat pelarian semata,” lanjutnya menatap Fariz penuh selidik.
Kegusaran tatapan mata Fariz menjawab pertanyaan Fatma, kalau apa yang dia curigakan adalah benar.
Fariz mengesah. Dia tidak perlu menjelaskan, sebab kecurigaan itu memang nyata. Dan mungkin Fatma sudah menangkap jawaban dari sorot matanya. Sejak hati Fariz tersakiti akibat keputusan Ayesha yang memilih menikah dengan Reihan, Fariz pun Pe De Ka Te dengan Ashel, berharap kedekatannya dengan Ashel mampu membuat Ayesha cemburu dan mengubah pemikiran Ayesha. Dengan kata lain, Ashel menjadi batu loncatan. Fariz bahkan sering bertingkah gila di depan umum demi mencari perhatian Ayesha, tapi usahanya nihil. Ayesha tetap pada pendiriannya untuk menikah dengan Reihan.
Fariz semakin bertingkah gila saat itu, dia pun membuat pengumuman yang juga gila di depan umum, sekaligus di depan Ayesha, bahwa Fariz akan menikahi Ashel. Memang benar, keputusannya yang terburu-buru menikahi Ashel karena sebatas emosi, melampiaskan kekecewaan yang ditanamkan Ayesha, juga berharap terlihat tegar di hadapan Ayesha.
TBC
Buat reader yg baik, pasti spam komen dan vote dong
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BOSS IS MY LOVE (Sudah Terbit)
SpiritualBISA DIPESAN DI SHOPEE. Status Fariz yang awalnya adalah senior Ashel saat SMA, kini berubah jadi atasan di kantor setelah lima tahun berlalu. Pertemuan Ashel dan Fariz membuat Ashel jatuh cinta. Tapi sifat Fariz sulit ditebak, membuat Ashel jadi s...