Akhir (?)

2.2K 123 177
                                    

Lain halnya dengan Nae, Batz juga merasa teramat sedih. Sesungguhnya, Batz juga tahu bahwa selama ini Nae pergi ke club setiap malam dan bersama wanita. Wanita yang diyakini Batz adalah Ninew.

Batz tahu jika Nae pulang, ia tahu Nae mengecup kepalanya, ia tahu Nae tidur di sofa dan ia juga tahu Nae pergi sebelum ia terbangun.

Batz mengetahui semuanya. Kecuali tentang Ninew. Hatinya terlalu sakit, seperti menguak lubang luka lama yang sudah ia jahit rapat.

Dahulu, Batz memang mencari detail tentang wanita tersebut, namun saat ini ia sangat sakit hati.

Mungkin benar inilah perangai liar Nae yang sulit diubah. Sudah cukup masa lalu mereka yang sangat menyakiti hati.

Fokusnya kali ini hanya teruntuk kedua anaknya. Ia akan mengikuti semua permainan Nae.

Sekalipun ia akan mengikuti kemauan Nae, hatinya selalu berontak mengingkari.

Cintanya pada Nae sudah terpatri di dasar hati. Bahkan semua rasa sakit itu seakan tertutup sempurna dengan cinta Batz yang memuja Nae.

Pagi ini, Batz sengaja menunggu Nae pulang. Ia sudah tau kalau Nae akan pulang jam tiga subuh.

Pukul tiga, Nae masuk dengan jalan yang sempoyongan.

"Nae.." panggil Batz yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Nae yang melihat Batz disana, terkejut dan menghela napasnya.

"Ngapain kamu disana?" tanya Nae melepas sepatunya dan hendak berjalan ke arah kamar.

"Aku mau ngomong" ucap Batz berdiri dan menghalang jalan Nae.

Nae diam dan melirik ke arah Batz. Hanya melirik, ia tidak sanggup jika harus menatap wajah Batz.

Wajah yang selalu menjadi candu akan rindu. Nae sangat ingin merengkuh Batz dalam pelukannya namun ia hanya bisa memejamkan matanya.

"Ada apa?" tanya Nae berjalan ke arah sofa dan duduk dengan menjatuhkan tubuhnya sedikit keras. Kepalanya terasa sangat berat.

"Siapa wanita itu? Ninew?" tanya Batz to the point menatap Nae. Batz duduk di samping Nae dan sedang menghadap sang istri.

"Bagus deh kalo kamu udah tau" ucap Nae santai memejamkan matanya menahan sakit. Ia memang terlihat seperti orang yang sangat hangover tapi sejujurnya ia tengah menahan sakit hatinya.

Batz menghela napasnya berat mendapat jawaban Nae. Air matanya masih ia tahan.

"Apa maumu?" tanya Batz akhirnya setelah mengatur emosi yang sudah dipuncaknya.

Nae menegakkan duduknya, dengan mengerjabkan mata guna mereda tangis, ia membuka tasnya yang berada di atas meja.

Ia mengambil amplop coklat dan memberikannya pada Batz. Batz tercekat. Ia tidak pernah menyangka Nae akan melakukan ini.

Dengan ragu, Batz membuka amplop tersebut dan membaca tiap kalimat yang tertera pada kertas di dalam amplop.

"P..pi..sah?" tanya Batz tidak percaya. Ia kembali membaca ulang perkalimat dan ia sangat yakin kalau ia masih sadar.

"Seperti yang kamu baca" ucap Nae kembali menghempaskan tubuhnya di atas sofa dan memejamkan matanya.

Batz menghela napasnya kasar dan memasukkan kembali kertas tersebut ke dalam amplop. Batz menaruh amplop tersebut di atas meja dan menatap Nae yang sedang menutup matanya.

"Baiklah," ucap Batz menahan emosinya "silahkan kamu urus" Batz berdiri dan berjalan menuju kamar meninggalkan Nae.

Nae yang mendengar kata 'baiklah' dari Batz segera membuka matanya dan menatap Batz tidak percaya.

Saat ini, ia tengah menatap punggung Batz yang sedang berjalan menuju kamarnya.

Nae benar-benar tidak percaya dengab ucapan Batz. Tidak ada pembelaan maupun penahanan dari Batz.

"Apa memang ini yang ia inginkan?" gumam Nae dengan tangisnya. Ia menangis tersedu di atas sofa.

Tidak jauh berbeda dengan Nae, Batz juga langsung menangis kala menutup pintu kamarnya.

Tubuhnya terduduk ke lantai kala tangisnya pecah. Hatinya sangat sakit mengingat kalimat yang tadi ia baca dengan seksama.

Mereka menangis akan salah paham yang berakhir dengan perpisahan.

Akankah ini menjadi akhir dari segala cinta mereka?

"Harus seperti inikah, sayang?" gumam Batz di tengah tangisnya.

"Mengapa kamu tidak menolaknya, sayang?" gumam Nae yang tidak kalah berantakan di bawah.

Hampir satu jam mereka menangis akan sakit hati yang mereka buat sendiri.

Setelah dirasa tangis mereda, Nae beranjak ke kamar mandi bawah dan segera menyegarkan badannya.

Ia mandi di bawah tumpahan air shower. Tangis yang tumpah, tersamar oleh air yang membasahi tubuhnya yang sedang berdiri memejamkan mata.

Bahkan ia belum membuka bajunya. Berkali ia memukul dinding di depannya, namun tak kunjung melegakan perasaannya.

Begitu juga dengan Batz. Ia tengah duduk di bawah shower. Ia belum membuka bajunya. Saat ini, ia tengah memeluk lutut dengan kedua tangannya. Tangisnya tak kunjung reda seiring dengan air terus membasahi tubuhnya.

"Aku mencintaimu, Batz" ucap Nae di sela amarahnya pada dinding di depannya.

"Aku mencintaimu, Nae. Apakah ini akhir dari kita?" ucap Batz yang sedang menelungkupkan kepalanya di antara kedua lututnya.

Seakan mengerti dengan keadaan pasangan ini, semesta juga ikut menangis.

Hujan di luar yang membasahi tanah seolah menjelaskan bahwa tangis keduanya benar-benar menyentuh hati terdalam mereka.

Meski hujan, tidak ada rasa dingin yang sampai pada tubuh keduanya. Rasa sakit di hati mereka menghilangkan rasa lain yang dirasakan oleh tubuh.

Hanya ada rasa sakit hati dan tangis tak kunjung henti meski semesta juga ikut merasakan kesedihan mereka.

Semesta saja seolah terikat dengan perasaan mereka. Bukti yang cukup kuat bahwa tidak ada yang menginginkan akhir seperti ini.

Lantas, apakah keputusan ini tetap akan menjadi akhir bagi mereka?

-----

Heyho.. Gimana nih ceritanya?
Nih yang pada minta pisah ✌

Sengaja ga dibuat panjang, soalnya kalau terlalu panjang, feelnya ga dapet.

Gimana kelanjutannya?
Kemaren sih pada minta pisah. Hahaha
Ditunggu aja ya hahaha

Ms. CEO (II)Where stories live. Discover now