Berubah

2.1K 116 218
                                    

Usai menonton rekaman Batz, Nae kembali ke kamar. Ia merapihkan seluruh kertas di meja kerja Batz dan mengirim video tadi ke hp dan hardisknya.

Lalu Nae beranjak ke tempat tidur kedua buah hatinya. Ia tersenyum kala menatap wajah meneduhkan dari abang-adek kesayangan mereka.

"Nak.. Tumbuhlah layaknya pesan Mommy, menjadi anak langit yang selalu membumi. Bilapun Mommy dan Mamah sudah tidak lagi bernyawa, kami tetap ada, dalam wujud pusaran udara bernama doa" ucap Nae mencium kening kedua anaknya.

Lalu Nae beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Senyum terus berkembang di wajahnya. Ia sangat bahagia.

Setelah bebersih dan mengenakan pakaian tidur, Nae kembali melihat buah hatinya dan mengecup kening mereka.

Lalu ia beranjak ke tempat tidur. Secara perlahan, ia mendekatkan badannya agar merapat pada tubuh Batz. Tangannya ia lingkarkan di tubuh sang istri.

Ia hirup dalam-dalam wangi tubuh yang selalu menjadi candu. Ia kecup rambut Batz penuh cinta. Wajahnya ia tenggelamkan di perpotongan tengkuk Batz dan ia mulai memejamkan matanya menuju Batz yang masih terlelap.

Hari-hari berlalu. Saat ini abang-adek sudah menginjak umur satu tahun. Namun, kesibukan Nae semakin menjadi.

Ia sudah sangat jarang pulang kerumah. Bahkan chat Batz jarang ia baca. Ia hanya menerima panggilan telepon. Terlebih lagi saat namanya digaungkan menjadi lima besar wanita paling berpengaruh di dunia.

Berulang kali Batz mengeluh akan kesibukan Nae namun Nae selalu enggan membahasnya. Ia sudah sangat lelah.

Seperti saat ini, kala Nae baru saja pulang dari China. Saat ini, mereka sedang duduk bersama di meja makan.

"Kamu sesibuk itukah? Sampe ga ada waktu lagi buat abang adek" keluh Batz menatap Nae dengan malas.

"Iya. Aku sedang sibuk banget. Aku kan kerja juga demi kalian" ucap Nae tetap memakan makanannya.

"Aku lebih baik ga bergelimang harta tapi kamu punya waktu, Nae" ucap Batz dengan mata berkaca-kaca.

"Aku gamau anakku hidup susah. Kan ada kamu yang setiap saat bersama mereka. Saat aku senggang, aku juga usahakan ada untuk mereka..

.. Aku lelah, Batz..

.. Bahkan kamu mengeluh saat aku tengah makan..

.. Aku kenyang" ucap Nae menaruh sendok garpunya dan meminun air mineralnya.

"Kamu berubah" ucap Batz yang sedari tadi baru makan dua sendok nasi.

"Semua pasti berubah. Aku jelas ingin lebih baik. Lelahku hanya untuk kalian. Jangan menangis. Sungguh, aku lelah. Aku tunggu di kamar" ucap Nae mengecup kepala Batz dan berjalan menuju kamarnya.

"Nae.." ucap Batz lirih menatap punggung Nae yang kian menjauh menuju kamar mereka.

Usai merapihkan meja makan, Batz mengikuti Nae untuk ke kamar. Batz melihat Nae yang sudah memejamkan matanya. Batz menghela napasnya dan tidur di samping Nae.

Nae yang merasa ada pergerakan, segera memeluk Batz dari belakang dan kembali terpejam.

Batz menangis dalam diam. Hanya air matanya yang mengalir. Sungguh bukan ini yang ia mau. Ia ingin Nae berada di sampingnya.

Ia tahu Nae sangat sibuk, setidaknya seperti dahulu. Ada waktu di akhir minggu bersamanya.

Namun, saat ini itu hanyalah mimpi belaka. Bahkan Nae lernah satu minggu tidak pulang ke rumah.

Tiap Batz mengeluh, Nae berucap ini demi mereka. Memang benar itu keadaannya. Tapi Batz sungguh berharap menemukan Nae nya yang dulu.

Tiap pulang ke rumah, Nae selalu terlihat lelah. Belum lagi beberapa gosip kedekatan Nae dengan para wanita di luaran sana.

Meski Batz percaya pada Nae, ia tetap cemburu. Setiap kali ia bertanya pada Nae, Nae selalu berucap, "hanya teman, rekan bisnis, percaya padaku. Hanya kamu."

Bukannya Batz tidak percaya, namun Nae sendiri yang perlahan mengikiskan kepercayaannya.

Bukan pertama kali Batz mendapati hp Nae dipenuhi chat oleh beberapa wanita. Begitu juga dengan email-emailnya. Namun, seperti permintaan Nae, Batz akan terus percaya pada Nae.

Batz geram dengan keadaannya sekarang. Hanya kehadiran abang adek yang dapat menenangkan gundah dihatinya.

Pernah suatu hari, Batz memasak untuk Nae dikarenakan Nae yang memintanya.

"Sayang.. Masakannya sudah matang" ucap Batz menyentuh pundak Nae yang sedang berkutat dengan laptopnya.

"Iya, sayang" Nae menyimpan pekerjaannya dan berdiri lalu memeluk pinggang Batz menuju meja makan.

Sesampainya di meja makan, Batz mengambilkan nasi, ayam bakar dan juga sayur untuk Nae. Lalu ia juga mengambil untuk dirinya sendiri.

Mula-mula, Nae memakan ayam bakar buatan Batz.

"Gimana, sayang?" tanya Batz penasaran dengan penilaian Nae terhadap makanannya.

"Hmm.. Asin. Kamu udah nanya ke Mamah belum resepnya?" tanya Nae menyuap nasinya.

"Udah, sayang. Ini udah sesuai resep Mamah" ucap Batz dengan wajah sendu.

"Ini masih keasinan. Coba deh kamu belajar lagi. Mamah itu masakannya enak banget loh. Sempurna gitu rasanya. Masa kamu ga bisa sih belajar gitu aja" ucap Nae yang cukup menyakitkan bagi Batz.

"Iya, nanti aku belajar lagi" jawab Batz menyendokkan makanannya.

"Iya. Kamu harus belajar lagi. Masakan Mamah terutama. Itu enak banget, sumpah. Aku juga pernah nyoba masakan rekan kerjaku, dia memang sering bawa makanan dan dibagi-bagi. Dan masakannya enak. Masa kamu ga bisa kaya dia. Coba lagi ya. Padahal saat itu dia cuma buat omelet gitu. Kamu pas sarapan, buat omelet aja keasinan" Nae terkekeh mengingatnya.

Ia tidak sadar sudah membandingkan istrinya dan membuat Batz sakit hati. Nae terus melahap makanannya dan membiarkan ayam bakarnya tanpa ia sentuh.

"Jadi ayamnya ga kamu makan?" ucap Batz melihat ayam Nae yang masih hampir utuh.

"Kamu mau aku darah tinggi? Ini asin, Batz. Aku ga suka. Nanti aku habiskan kalau kamu sudsh masak seperti Mamah ya" ucap Nae santai tanpa peduli perasaan Batz.

Batz mengangguk menahan sakit hatinya. Ia lebih memilih memendam sendiri daripada harus berdebat dengan Nae yang semakin hari semakin tidak dapat dibantah.

Selain sikap, Batz juga menemui perubahan pada ucapan Nae. Nae sudah sangat sering memanggil Batz dengan panggilan nama.

Sebelumnya, Nae selalu memanggil sayang atau yang. Namun, sekarang, Batz lebih sering mendengar Nae memanggil namanya.

Berubah..

.. Satu kata yang membuat Batz akhir-akhir ini banyak menghela napas.

Ms. CEO (II)Where stories live. Discover now