Moving On

2.9K 154 263
                                    

Usai membereskan peralatan pengobatan, Batz kembali berjalan mendekati ruang keluarga dan duduk di samping Nae.

Ia memberikan susu yang sebelumnya telah ia buat di dapur. Nae menerimanya dengan senyuman yang tidak pernah pudar dari awal.

Ia yakin, ada sedikit celah untuk mereka dapat bertahan. Sungguh, ia tidak ingin menjadi pecundang bodoh lagi untuk kehidupan keluarga kecilnya.

Nae meneguk susu tersebut dan langsung habis seketika. Ia menaruh gelasnya di atas meja dan tersenyum ke arah Batz. Batz dibuat melongo melihat kelakuan Nae.

"Haus banget? Kamu dari gurun?" Tanya Batz tidak percaya. Nae menggelengkan kepalanya dengan lengkungan senyum yang tidak berubah.

Lalu Nae duduk bersimpuh di bawah Batz. Ia genggam kedua tangan Batz. Ia melipat kedua kakinya bersila dan semakin mendekat pada Batz. Ia kecup punggung tangan Batz penuh cinta lalu kembali menatap wajah Batz dengan senyuman.

Batz membalas senyuman Nae. Sesungguhnya Batz banyak berharap kalau kali ini Nae membawa berita baik untuk tetap mempertahankan keluarga kecil mereka.

"Maafkan aku.." Ucap Nae menatap dalam ke arah mata Batz. Sungguh ia ingin menunjukkan ketulusan dan penyesalan mendalamnya.

Batz menahan napasnya, bersiap untuk ucapan yang akan kembali menyakitkan hatinya

"Aku ingin kita bertahan. Aku akan memperbaiki segalanya" ucap Nae dengan mata berkaca-kaca. Ia menyesal. Sangat menyesal. Ia sangat berharap Batz mau menerimanya kembali.

Tanpa Nae sadari, Batz kini tengah menghela napasnya lega. Tuhan selalu tahu yang dibutuhkan umatnya.

Mimpi Batz selama ini agar pernikahan mereka bertahan, dipeluk erat oleh Tuhan dan dilepaskan di waktu yang tepat.

Satu kalimat yang ingin Batz bagikan kepada semuanya 'bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpimu. Kelak, Ia akan melepaskannya di waktu yang tepat' seperti yang saat ini ia rasakan.

"Kenapa?" Tanya Batz menghapus air mata Nae yang sudah membasahi pipinya.

"Aku bodoh, aku pecundang, aku..."

Batz mengecup singkat bibir Nae dan tersenyum. Nae yang terkejut hanya bisa diam. Ia sangat tidak siap dengan ciuman Batz, meskipun hanya sekedar kecupan kilas.

"Aku bertanya kenapa" tanya Batz mengulang pertanyaannya.

"Aku melihat Peter ke rumah. Ia bermain dengan abang adek. Mereka tertawa senang dan kamu pun tersenyum bahkan tertawa" ucap Nae menjelaskan dengan menatap lekat wajah Batz. Tangannya terus menggenggam tangan Batz.

"Kamu dimana?"

"Aku baru pulang dan melihat dari kaca. Saat Peter pulang, aku pergi" Nae menjatuhkan kepalanya di atas genggaman mereka.

"Lalu?" Tanya Batz belum puas akan pernyataan Nae. Ia mengangkat wajah Nae agar menatapnya.

"Aku berpikir kalau kamu bahagia dengan Peter. Aku pikir inilah yang sebenarnya kamu inginkan. Bahagia sebagai keluarga kecil dengan adanya seorang suami di samping kamu" Nae menangis dengan tubuh yang bergetar. Hatinya pilu mengatakan kalimat-kalimat tersebut.

"Aku heran deh. Kamu ini bodoh atau apa" kesal Batz yang menendang pelan kaki Nae.

"Iya, sayang. Aku bodoh. Sangat bodoh" ucap Nae kembali menaruh kepalanya di genggaman mereka.

"Ada yang pernah bilang padaku bahwa tinggalkan yang melukai, jauhi yang tidak peduli, hindari karena pantas untuk dihindari. Jangan menjadi bodoh untuk hal yang tidak pasti..

Ms. CEO (II)Where stories live. Discover now