Aroma khas yang menyengat masuk ke indera penciumanku. Kelopak mataku yang terasa berat, kupaksa untuk membuka. Rasanya bola mataku sudah ingin melihat dunia, pupilku sudah ingin menyesuaikan cahaya. Sendiku terasa ngilu untuk bergerak. Ah.. Ada apa denganku. Apa yang terjadi?
3 menit. 7 menit. 10 menit.
Aku masih berusaha untuk membuka mataku. Telingaku tidak bisa menangkap suara apapun. Hening. Sepi. Hanya aroma khas yang kembali menyeruak masuk ke dalam penciumanku. Hawa dingin menyelusup ke dalam kulitku.
Setelah berperang dengan tubuhku sendiri, akhirnya perlahan kuangkat kelopak mataku. Sinar cahaya berebut masuk ke mataku. Aku mengerjap beberapa kali. Ku tengokkan kepalaku ke arah kanan dan kiri.
Hanya ada Mama yang nampak cemas sambil memegang ponselnya di telinga. Terlihat seperti menelpon seseorang, tetapi tidak diangkat. Hal ini kusimpulkan dari sikap Mama yang terlihat mendengus dan sikapnya yang tidak tenang.
"Ma...," rintihku pelan. Bahkan kupikir Mama tidak mendengar rintihanku.
Tapi perkiraanku salah besar. Seketika Mama memalingkan kepalanya ke arahku. Masih dengan ekspresi yang sama. Cemas.
"Valen.. Alhamdulillah.. Kamu udah sadar nak..," ucap Mama bersemangat tapi pelan.
Mama mendekat ke arahku. Nampaknya ingin mewawancaraiku, tapi niatnya diurungkan setelah melihat selang infus yang tersalur ke pembuluh darahku. Mama lagi-lagi menghembuskan nafasnya.
"Valen gak boleh banyak gerak dulu ya. Valen istirahat aja. Kalo butuh sesuatu bilang Mama ya..".
Aku hanya mengangguk. Kepalaku masih terasa berdenyut.
Mama lalu kembali duduk di sofa kamar rumah sakit yang ku tempati. Aku tahu sekarang aku ada dimana. Aku ada di rumah sakit tempat Mama bekerja. Tetapi untuk kronologis aku ada disini, aku belum tahu. Aku masih malas bertanya bagaimana kronologis sebenarnya.
Ponsel Mama bergetar lagi dan lagi. Mama terlihat pusing sendiri. Ku lirik nama penelpon ponselnya.
Ah.. Kenapa bisa lupa si Len. Mama kan lagi kerja.
"Ma.. Mama balik kerja aja. Valen gak apa-apa kok..," ucapku.
Mama terlihat sedikit berbinar. Tatapannya seperti tatapan memastikan. Aku hanya mengangguk."Ya udah Mama kerja lagi. Nanti kalo kamu butuh sesuatu pencet bel itu ya...," ucap Mama sambil menunjuk bel merah disamping ranjang tidur pasien.
"Yes Maam.. "
***
Ponselku baru saja ku aktifkan. Tidak ada notifikasi penting dari siapapun. Bahkan dari Radit.
Ah yang benar saja. Dia sama sekali tidak berniat memberikan kabar atau mungkin tanya dimana keberadaanku. Ah Valen khayalan dan harapanmu terlalu tinggi.
Aku kembali memejamkan mataku. Mencoba berkhayal indah tentang sesuatu.
Ponselku berdering singkat. Ada sebuah notifikasi masuk. Kuhentikan khayalanku sejenak.
Gita.
Ngapain dia mengirim pesan?
Lo kenapa gak berangkat Val? Lo sakit? Duh.. Baru ditinggal sehari aja udah sakit Lo. Kangen gue kali yaa? Tenang aja gue ntar langsung balik kok. Bye sahabat gue yang udah taken.
Aku tidak ada niatan untuk membalas pesan Gita. Ku letakkan ponselku. Kembali memejamkan mataku.
***
Matahari sudah bersinar sangat terang. Bahkan sudah menuju ke ufuk barat. Aku kembali melirik jam dinding yang menempel manis di dinding berwarna soft pink.
Kamar rawat yang ada di rumah sakit yang ditempati olehku memang berbeda dari yang lain, dimana biasanya dominan berwarna putih. Rumah sakit ini memiliki konsep yang seperti rumah sendiri. Hal ini bertujuan agar pemulihan pasien lebih cepat karena menganggap mereka dirawat di rumah sendiri.
Pintu kamar baru saja terbuka. Posisiku yang tidak menghadap tembok memaksaku untuk merubah posisi. Mataku terbelalak saat kulihat Gita sudah berdiri dengan satu bouqet bunga ditangannya didepan pintu. Dia melangkah masuk perlahan dengan tatapan tajam ke arahku.
Setelah mengambil posisi duduk disampingku, Gita mulai berubah menjadi seorang reporter yang berburu berita.
"Lo kok bisa sampe kek gini sih? Lo gak makan siang?," ucapnya langsung tanpa candaan seperti biasanya.
Aku memutar bola mataku sejenak. Bayangkan saja dia baru duduk dan menyerbu dengan pertanyaan seperti itu.
"Nah lo ngapain kok tiba-tiba udah balik lagi? Katanya mau holiday dulu..," aku menjawab dengan sebuah pertanyaan lagi.
"Please deh Len.. Lo jangan ngalihin topik..," ucapnya.
Aku menyerah. Aku malas jika Gita sudah meneror dengan segala macam pertanyaannya. Oleh karena itu, secara perlahan ku ceritakan bagaimana kronologi kejadian ini.
Gita menghembuskan nafasnya kasar.
"Jadi Radit udah nengokin Lo belum?," tanyanya lagi.
Bibirku baru saja terbuka hendak menjawab pertanyaan Gita barusan. Tapi suara ketukan pintu menginterupsi kegiatan kami. Ku pikir perawat yang jadwal memeriksa tanda vitalku, tapi nyatanya tidak.
Seorang laki-laki nampak berdiri didepan pintu setelah terbuka.
Radit. Dia ngapain kesini?. Aku sudah menyunggingkan senyum terbaikku.
Tidak lama. Benar. Sungguh. Tidak lama. Hanya beberapa detik.
Karena setelah itu.
Seorang gadis menyusulnya dari arah belakang.
Dan dia itu. Kenapa harus dia? Apakah tidak ada selain dia?
Ya dia,
Dia..
Dia Cilla..
#TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGIC SHOP [COMPLETE]
Teen Fiction"Lo mau jadi pacar gue?" "Tapi bukan pacar seperti biasanya!" "Namun mengapa kamu tak mencoba untuk menengok ke belakang. Cobalah tengok sejenak kesana. Kelak kau temukan sebuah cinta dibalas cinta. Sebuah sayang dibalas sayang. Bukan seperti dulu d...