43

11K 500 10
                                    

"Gue suka banget sama Cilla.. Gue ngerasa cemburu kalo liat dia sama yang  lain. Gue ingin selalu sama dia. Gue nggak tahu ini cinta atau bukan. Tapi yang jelas gue takut kehilangan dia”, ucapnya tepat ketika kakiku menapakki langkah yang kelima, ketika aku sudah hampir sampai di pintu.

Aku berhenti sejenak. Aku berusaha mengulang ucapan Radit secara perlahan. Aku kembali pada posisiku semula.

“Dit, pernah nggak lo berpikir bahwa ketika lo mengharapkan dia dan dia mengharapkan orang lain, jangan pernah berpikir dibelakang lo, gak ada yang mengharapkan lo. Tepat dibelakang lo ada seseorang yang mengharapkan lo, meski gak pernah dilihat sedikitpun oleh elo. Tapi Ia tetap bertahan,  hingga akhirnya lo tahu, meski itu sebuah pengharapan yang cukup sulit untuk diwujudkan.
Apakah ini yang disebut karma? Ketika lo gak melihat orang dibelakang lo, apakah orang didepan juga gak melihat lo yang dibelakangnya?,"

Aku menarik nafas untuk kembali melanjutkan.

"Lalu mengapa lo gak nengok ke arah belakang? Cobalah tengok sejenak, setidaknya hanya sekedipan mata. Meski sangatlah sebentar itu sangat berarti bagi orang yang dibelakang lo.
Kalaupun lo tahu pengorbanan yang telah dilakukan orang dibelakang elo, mungkin lo akan mengerti bahwa lo tidak sendiri, bahwa lo masih dihargai, bahwa lo masih diharapkan, meski selalu diacuhkan oleh dia, meski selalu dicampakkan oleh dia, meski selalu dianggap tidak ada oleh dia.
Lo pernah melakukan sebuah pengorbanan untuk dia, tetapi tidak dihargai? Seperti itulah yang dirasakan orang dibelakang lo saat pengorbanannya tak dihargai oleh Jadi bukan hanya lo yang merasa seperti itu, tapi orang yang mengharap elo juga melakukan hal yang sama demi lo.  Ya demi lo.
Pernahkah lo berkorban demi melihat dia, orang yang lo sayangi dan lo harapkan bahagia. Seperti itulah pengorbanan orang dibelakang lo. Ia rela mendengar semua celoteh elo tentang orang yang lo harapkan. Laksana luka yang ditabur garam. Seperti itulah rasa sakit orang yang mengharapkan elo"

"Sampai kapan lo akan menanti dia sampai dia mentap ke arah lo? Apa lo masih kuat?”, ucapku masih menerawang ke arah depan, dan sesekali menatap Radit yang juga mentap ke depan.

“Namun mengapa lo gak mencoba untuk menengok ke belakang. Cobalah tengok sejenak kesana. Kelak lo bakal temukan sebuah cinta dibalas cinta. Sebuah sayang dibalas sayang. Bukan seperti dulu dimana hanya ada cinta sepihak. Dimana ada pengorbanan dibalas diam.

"Kalau orang bilang cinta karena terbiasa. Biasakanlah tengok orang yang menanti elo. Biasakanlah itu. Orang dibelakang lo rela menjadi sebuah pelarian dari cinta sepihak. Orang dibelakang elo rela menunggu proses hingga kamu mulai mencintainya. Orang dibelakang lo tabah ketika kau salah memanggil nama orang itu dengan nama orang yang lo harapkan”, ucapku kembali.

“Maksudnya gimana sih? Lo lagi kenapa? Galau ya?”, ucapnya mencoba mencairkan suasana. Jarang bukan Radit mencoba mencairkan suasana.

“Maka hentikanlah pengharapan sia-sia terhadap dia yang mengharap orang lain. Berpalinglah. Tengok sejenak ke belakang. Tengok dengan sedikit senyum dipaksakan. Orang dibelakang lo rela menerima itu. Ya Ia rela, sangat rela bahkan”, ucapku lagi, sambil menatap sejenak ke arah Radit.  Tepat saat aku menatapnya, ternyata Ia sedang menatapku pula. Celakalah aku, ketahuan memandangnya.

“Lo tahu orang itu?”, tanyaku kembali melirik padanya. Ia hanya mengangkat bahu, pertanda tak tahu.

“Pasti jawaban tidak, yang akan keluar dari mulut lo.. Untuk itu, cobalah tengok ke belakang…”, ucapku menggantung.

“Maka lo bakal liat gue disana..”, ucapku.

Suasana kembali hening. Aku diam. Begitu pula dengan Radit. Hanya ada suara hembusan angin. 10 menit masih saja hening. Sepi. Hanya ada beberapa perawat dan pengunjung yang berlalu lalang. Harapanku yang sebelumnya tentang jawaban respon darinya pupus sudah.

Ku langkahkan kakiku menjauhi Radit yang masih saja menerawang ke arah depan. Aku sudah benar-benar muak dengan semua ini. Ini akan menjadi yang terakhir dari kepedulianku terhadap Radit. Setelaah ini. Terserah dia.

Ah satu lagi. Aku bersyukur bahwa aku sudah mengatakan semua unek-unek yang ku pendam. Jadi biar saja Radit menerjemahkan bagaimana sikapku tadi.

-

Aku menghempaskan tubuhku di kasur tidurku. Rasanya malas sekali hari ini. Hari ini, setelah kejadian tadi siang, aku sudah membulatkan tekad bahwa aku tidak mau berurusan lagi dengan dia. Kecuali jika terpaksa oleh waktu. Aku tidak akan peduli lagi dengan hubungan dia dengan Cilla. Aku tidak peduli lagi dengan dirinya. Aku tidak peduli.

Satu yang aku tau, selama aku mencintai Radit sampai saat ini, sepertinya aku kurang mencintai diriku sendiri. Ada banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Sepertinya aku butuh 'Me time' atau sejenisnya. Jangan lupakan soal masa depanku. Aku harus berusaha lebih giat lagi. Aku mungkin belum punya mimpi tapi aku harus tetap bekerja keras. Aku mungkin akan menangis meratapi nasib kisah cintaku. Mungkin aku mulai bisa memercayai bahwa 'Cinta pertama akan selalu gagal'.

Aku mengambil selembar materi yang sudah kurangkum. Mataku mulai menyapu kalimat demi kalimat. Tapi sepertinya pikiranku tidak disini. Bahkan dua kalimat yang kubaca berulang-ulang sedari tadi sama sekali belum bisa kuhafal. Ada apa ini?.

Pikiranku melayang pada percakapan dengan Gita kemarin. Soal kuliah. Aku memang belum memiliki tujuan kuliah. Tapi sepertinya aku harus mulai memikirkan tentang itu. Bukankah aneh bagi siswi tingkat akhir, tetapi belum memiliki tujuan yang jelas?.

"Dek..," Mama memanggil. Ku letakkan rangkuman materiku serta semua pikiranku saat ini.

"Kenapa Ma?," ucapku mendekati Mama.

"Jalan yuk! Kayanya anak Mama ini butuh refreshing..,"

"Kemana?,"

"Kemana ajaa..," suara lain menjawab.

Aku rindu suara ini. Sudah berapa lama aku tidak mendengar langsung?

"Papaaaaahh!!," teriakku langsung menghambur ke pelukan orang yang tadi bersuara.

Papahku akhirnya pulang. Meskipun tidak mengalahkan bang Toyib, tapi tetap saja Ia sangan kurindukan.

"Ah.. Little princess..," ucap Papa mengacak rambutku.

Kalau kalian pikir aku seperti anak kecil? Nyatanya memang seperti itu. Ditambah lagi dengan status aku anak bungsu.

"Papa kapan pulang?,"

"Baru aja. Apa kabar?,"

Aku tersenyum. Kalau aku mengatakan 'baik' nyatanya tidak. Jika aku mengatakan 'tidak' maka akan berbuntut panjang.

"Hari ini kita makan diluar ya!," ajak Papa. Aku mengangguk setuju.

Ya, semoga saja semua akan berjalan baik.

#TBC

MAGIC SHOP [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang