"Lo ngapain disini?," tanyaku sambil menerima buku yang diulurkan Radit.
Radit diam tidak menjawab. Dia berjalan mendekat ke arah kursi baca yang tersedia. Aku kembali mengikutinya seperti anak ayam.
"Lo ngapain disini?," tanyaku lagi. Jujur saja aku sangat ingin tahu apa alasannya membantuku. Bolehkan aku sedikit bahagia dengan tindakannya barusan?Dia mengambil posisi duduk. Aku pun begitu.
"Lo ngapain disini?," tanyaku lagi. Bukankah ini sudah ketiga kalinya aku bertanya? Apa pendengarannya bermasalah sejak tadi pagi?.
Telunjuknya diarahkan ke bibirnya. Membuat sebuah isyarat agar aku berhenti bertanya.
"Kenapa?," tanyaku masih dengan nada yang sama.
"Ehm.. Siswa yang sedang duduk di meja nomor 3. Apa kamu bisa diam? Jika tidak, keluarlah!," sebuah suara menginterupsi.
Petugas perpustakaan yang galak memperingatkanku. Ah sial. Padahal aku hanya bertanya tentang Radit. Kenapa aku yang ditegur. Bukankah nadaku juga rendah.
Lo gak tahu? Ini tempat umum di sekolah. Jadi terserah gue dong mau ngapain disini. Ah iya, satu lagi. Jangan berisik! Gue malu!
Selembar kertas berisi tulisan berada di atas lembar buku yang sedang ku baca. Aku memang memutuskan untuk membaca buku sambil menunggu kedatangan Kefas. Bisa-bisa aku mati berdiri meladeni Radit.
"Iya gue tahu ini tempat umum di sekolah. Satu lagi, yang buat gue berisik dan ditegur itu lo. Apa pendengaran lo tiba-tiba terganggu? Gue tanya hal yang sama 3 kali. Dan lo diem aja?," ucapku.
"Siswi di meja nomer tiga! Keluar sekarang!," ucap petugas perpustakaan tegas.
Sial. Aku melangkah perlahan keluar. Bahkan aku saja tidak menyadari apa yang baru saja ku katakan pada Radit. Apa aku tadi marah padanya? Apa ini pertanda aku sudah move on? Syukurlah! Bukankah masih banyak lelaki yang lebih dibanding Radit?
Aku melangkah lesu keluar dari perpustakaan. Tatapanku tidak berpaling dari deretan ubin-ubin keramik sekolah.
"Lah kok lo disini?,"
Kefas?. Aku diam tidak menjawab. Aku kehilangan mood ku.
"Lo kenapa?," tanyanya. Rautnya terlihat khawatir.
Apa aku boleh meluapkan kekesalanku padanya? Apa boleh? Tapi bukankah itu salah?.
"Luapin aja ke gue. Daripada mood lo jelek seharian,"
"Dasar cowo jahat. Lo gak sadar apa yang udah lo lakuin ke gue? Lo permainkan gue! Lo jadiin gue bahan mainan lo! Lo permalukan gue di satu angkatan! Lo nyakitin gue sesuka hati lo! Gue kurang apa buat lo? Gue emang gak sempurna! Tapi apa gue gak boleh berharap punya kisah cinta yang sempurna?.....," kali ini suaraku tertahan. Nafasku memburu. Tangisku sudah pecah. Aku mengeluarkan semuanya. Semuanya. Semua yang ku pendam. Semua rasa sakit yang kutahan selama ini. Entah itu rasa cinta tak berbalas, atau yang lainnya.
Sebuah pelukan merengkuhku. Meredamkan tangisku. Ya, sepertinya saat ini aku butuh sebuah pelukan. Aku butuh pendengar yang tidak memotong ceritaku. Bukankah seseorang setidaknya hanya butuh pendengar. Pendengar yang siap mendengarkan semua keluh kesah yang kamu rasakan.
"Udah nangisnya?," Kefas berucap setelah aku menghentikan semua sumpah serapah yang ku pendam dan setelah aku menangis cukup lama. Ia masih memelukku memberikan ketenangan dengan usapan tangannya.
Aku menatap matanya dan mengangguk perlahan.
"Princess gak boleh nangis lagi..,"
"Nanti mahkotanya jatuh," ucap kami bersama dilanjutkan dengan tertawa bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGIC SHOP [COMPLETE]
Teen Fiction"Lo mau jadi pacar gue?" "Tapi bukan pacar seperti biasanya!" "Namun mengapa kamu tak mencoba untuk menengok ke belakang. Cobalah tengok sejenak kesana. Kelak kau temukan sebuah cinta dibalas cinta. Sebuah sayang dibalas sayang. Bukan seperti dulu d...