13

13K 632 19
                                    

"Gak bisa semudah itu Git..,"

"Val.. Semua bisa. Asal lo mau nyoba. Witing tresno jalaran soko kulino"

"Sok bijak lo Git. Lo aja masih jomblo.."

***

Sudah seminggu sejak aku kembali masuk ke sekolah. Tidak banyak yang berubah dari sekolah dan tetek bengeknya. Aku masih saja membenci pelajaran hitung-hitungan yang menjadi pokok di jurusanku.

Bisa kalian bayangkan? Aku anak IPA. Tapi.. Aku membenci semua pelajaran pokoknya. Aku tidak suka Fisika. Aku tidak tertarik pada Kimia. Aku benci Matematika. Hanya satu yang aku suka. Dia.

Tapi meski begitu, untungnya nilaiku tidak termasuk kategori bawah di kelas. Setidaknya aku cukup bersyukur dengan keberuntunganku. Ini faktor keberuntungan bukan kecerdasan sepertinya.

Sudah seminggu juga amplop bergambar hati yang retak ada di mejaku atau mungkin di atas tasku atau mungkin di selipkan dalam lokerku. Dan sudah seminggu juga aku dan Gita mencari siapa pengirim dari amplop itu. Serta sudah lebih dari seminggu aku tidak mengetahui siapa pengirimnya.

Hubunganku dengan Radit? Tidak ada perkembangan. Semua stuck di tempatnya. Ya meskipun kami masih seperti orang pacaran yang tujuannya masih sama.

Tapi sepertinya, beberapa hari terakhir ini hubungannya dengan Cilla mengalami kemajuan yang cukup pesat. Beberapa hari yang lalu saja aku melihat mereka nonton di bioskop.

***

Aku masih mengintip dari balik tembok kelas bersama Gita. Menunggu si pengirim amplop datang.

Setengah jam sudah berlalu. Daaannnnn.... Tidak ada pergerakan apapun oleh siapapun yang berkaitan dengan siapa si pengirim amplop tersebut.

"Git.. Udahan deh. Gue cape serius. Biarin ajalah. Gue juga udah gak peduli siapa yang ngirim..," ucapku memohon.

"No.. No.. No.. Gak bisa. Kita harus tahu siapa pengirimnya Val..," ucapnya sambil memberi isyarat tidak boleh dengan jari tangannya.

"Aah.. Tapi kaaan...," ucapku terputus ketika Gita memutar arah kepalaku menuju dalam kelas.

Aku hampir saja menjerit jika Gita tidak dengan cepat menutup mulutku dengan telapak tangannya. Aaah... Tidak mungkin. Kenapa dia? Kenapa harus dia yang ngirim amplop yang berisi surat kata-kata manis untukku?

Gita tiba-tiba saja mendorong tubuhku ke dalam kelas. Aku yang kaget hanya bisa memejamkan mata. Tubuhku tidak bisa menghentikan lajunya.
Bruuukkk.. Aah.. Tubuhku. Sepertinya aku jatuh ke lantai. Tapi sepertinya tidak. Bukankah jika jatuh ke lantai akan terasa sakit? Tapi kenapa tubuhku terasa biasa saja? Atau jangan-jangan aku pingsan?

Aku mencoba membuka kelopak mataku. Rasanya tidak seperti orang bangun dari pingsan. Sama sekali tidak. Aku melihat sekelilingku. Daann.. Tatapanku terkunci pada tatapan itu. Ya.. Tatapan yang sama beberapa tahun lalu.

Sama sekali tidak ada yang berubah dari dia. Tatapannya masih tajam. Garis wajahnya semakin tegas karena perkembangan. Kulitnya masih sama seperti dulu.

"Lo gapapa?," tanyanya.

Aku yang masih kaget hanya mengerjap bodoh.

"L-lo ngapain disini?," ucapku bergetar.

"Seperti yang lo liat. Gue yang ngirim surat dengan amplop hati yang retak.."

"Ngapain naruhnya di meja gue?," tanyaku lagi.

"Ini emang buat lo...,"

Aku berbalik arah menuju Gita. Aku tidak ingin berada di suasana canggung kepada dia.

Ah.. Tapi kenapa tubuhku tidak bisa bergerak? Seperti ada yang menahanku. Pantas saja, tangan dia memegang tanganku. Bagaimana aku bisa melangkah? Yang ada tanganku bakalan jadi merah.

"Lepasin!. Gue mau keluar!"

"Gak. Gue gak bakal lepasin lo. Ada sesuatu yang harus gue jelasin ke lo!"

"Gak ada yang perlu di jelasin lagi. Semuanya udah jelas. Gak ada yang berubah kan?"

"Ada! Ada sesuatu yang berubah. Dan gue harus kasih tahu lo. Biar gue gak nyesel"

"Ya udah sih. Toh yang nyesel lo kan? Bukan gue?," ucapku keras.
Hening. Dia tidak menjawab. Pegangan tangannya semakin erat pada lenganku. Sepertinya lenganku sudah memerah.

Gita.. Dimana sih? Temen lagi susah gak mau bantu.

"Lepasin gue. Atau ngga gue bakal teriak!," ancamku.

"Teriak aja!," ucapnya.

Bibirku sudah membuka. Suaraku sedang kukumpulkan.

"T-...," ucapku terputus.

Ada suara menginterupsi.

"Lepasin tangan lo dari dia!," suara menginterupsi keras.

Aku seperti kenal suaranya. Ini suara Radit. Ya. Ini suara Radit.

Tapi tidak mungkin dia disini. Jelas-jelas Ia sedang PDKT sama Cilla. Aah.. Otakku. Hentikan halusinasi ini.

Tangan orang yang memegangku meregangkan cekalannya. Bekas kemerahan terlihat di kulitku.

"Lepas gue bilang!!," ucap suara itu lagi.

Tapi tangan itu masih mencekalku meski tidak seerat awalnya.

"Lo tau gue siapanya dia kan?," suara itu lagi.

Dia tidak menjawab.

"Dia pacar gue! Dan gue gak terima kalo ada orang lain yang nyakitin dia. Jadi lepasin dia!,"

Tangan yang mencekalku kali ini melepaskan tanganku. Benar benar lepas.

Aku memandangi pemilik suara itu. Oh My God. Apa mataku tidak sakit. Dia Radit. Apa aku boleh pingsan sekarang?

"Sekarang lo pergi dari hadapan gue. Sekaraaaangggg!!!!," teriak Radit lagi.
Dan dia pergi begitu saja.

Radit mendekat ke arahku.

"Lo nggak apa-apa?,"

#TBC

MAGIC SHOP [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang