Aku masih mencoba melepas cengkeraman tangan Kefas. Cengkeramannya sangat kuat. Bahkan kulitku saja sudah terlihat memerah.
"Val... Semakin lo nyoba lepas, semakin sakit tangan lo..," ucapnya.
Aku mencerna kalimat Kefas barusan. Sepertinya benar, semakin aku mencoba melarikan diri, maka akan semakin perih yang kurasa di kulitku.
Perlawananku semakin melemah. Seiring dengan itu, kurasa cengkeraman tangan Kefas sedikit mengendur.
"Lo nggak usah berusaha melarikan diri lagi kalo ngga mau tangan lo lebih sakit!," titahnya.
Siaall.. Baru saja ada pikiran kabur dari Kefas melintas, tapi sepertinya dia bisa membaca pikiranku. Mana berani aku melarikan diri lagi.
"Apa susahnya sih kita pulang bareng. Gue nganter lo pulang. Cuma itu. Toh juga lo bakalan ngirit dana kan?," tanyanya melembut.
Aku masih saja diam. Rasanya malas sekali ada dalam situasi seperti ini.
Tanganku ditarik oleh Kefas, aku tidak ada persiapan untuk bertahan. Alhasil langkahku terseok karena terseret Kefas. Ia menarikku ke dalam sebuah mobil hitam yang terpakir tidak terlalu jauh dari tempat kami berada.
Sejak kapan Kefas membawa mobil?. Setauku dia sangat mencintai motor sportnya. Ah entahlah. Toh juga kami sudah tidak sedekat dulu.
Kefas membukakan pintu untukku. Dia tidak berubah. Terutama perilakunya. Masih sama seperti dulu. Manis dan menghormati perempuan, setidaknya sampai ini. Dan semoga sampai aku tidak bersama dia di situasi seperti ini.
Aroma yang pertama kali tercium setelah aku duduk di kursi samping kemudi masih sama. Aroma Kefas terakhir kami bertemu. Tidak lama Kefas juga mengambil posisi duduk di belakang kemudi.
Suara lembut mulai mengalir lembut masuk ke dalam gendang telingaku. Bahkan selera musiknya tidak berubah. Masih sama.
Kami masih diam dalam keheningan. Belum ada yang mengambil suara diantara kami. Aku diam. Kefas diam.
Kefas baru saja menghembuskan nafas panjangnya.
"Jadi gimana kabar lo sekarang?,"tanyanya.
Aku berdeham sejenak.
"Kaya yang lo liat. Baik-baik aja"
Hening.
"Lo ngga mau nanya kabar gue?," tanyanya.
Aku diam. Tidak ingin bertanya.
"Gue baik-baik aja kok. Gue seneng bisa pulang bareng lo..," ucapnya.
PD gila dia. Aku tanya kabar dia aja nggak.
"Jangan diem mulu dong. Ngomong dong,".
Aku diam. Masih tidak menjawab.
Aku melirik ke arah jendela. Bangunan dan pohon di pinggir jalan terasa berlalu begitu cepat. Ku lirik speedometer mobil yang dikemudikan Kefas. Benar saja jarum speedometer sudah menunjukkan angka merah. Kalau begini hancur sudah pertahanan diamku.
Aku masih mencoba bertahan dalam diam. Peganganku semakin ku eratkan. Aku melirik ke arah sabuk pengamanku. Syukurlah masih terpasang dengan baik.
Kefas sepertinya belum menyerah. Ia semakin menambah kecepatan mobil yang sedang di kendarai. Aku semakin kalut.
"Kefaaassss.....," teriakku.
Kefas seperti sengaja tidak mendengar suaraku. Padahal aku yakin suaraku sudah sangat amat keras. Ia hanya menengok ke arahku. Kecepatan mobil masih saja sama. Sama-sama sangat cepat.
"Kefaaaasss berheeentttiiiii!!!!!," teriakku lagi.
Kali ini Ia memelankan laju mobil yang sedang Ia kemudikan. Detak jantungku mulai kembali normal secara perlahan.
"Akhirnya lo mau ngomong juga ke gue. Setelah sekian lama," ucapnya lagi.
Aku kembali diam. Tidak berniat menanggapi.
Kefas kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata yang membuat jantungku kembali berolahraga. Apa dia ingin membunuhku secara perlahan?. Oh Tuhan.. Aku belum ingin mati. Dosaku masih terlalu banyak. Aku belum membahagiakan kedua orangtuaku. Aku belum bertemu jodohku. Kalau aku mati dulu, nanti jodohku jadi jomblo seumur hidup, kan kasihan. Rasanya aku sudah tidak sanggup berteriak untuk mencegah Kefas mengurangi kecepatan mobilnya. Kali ini aku hanya memejamkan mataku dan berkomat-kamit melafalkan doa.
Aku merasa Kefas memelankan laju mobil yang kami tumpangi. Aku masih saja melafalkan doa-doa. Kucoba membuka mataku secara perlahan memerhatikan sekitarku.
Kami berhenti disebuah resto yang cukup terkenal di lingkungan anak muda. Beberapa kali aku pun sering kesini bersama Gita. Beberapa kali juga aku sering kesini bersama Kefas. Dulu. Ya itu dulu. Dan kali ini kami kembali kesini berdua dengan suasana yang berbeda.
Kefas kembali membukakan pintu untukku. Aku hanya keluar tanpa mengucapkan terimakasih. Pasti jika Mama tau, dia akan marah-marah karena aku tidak sopan kepada orang lain. Ah.. Masa bodoh soal itu untuk saat ini. Aku hanya ingin terlepas dari situasi ini.
"Kita makan dulu. Gue tahu lo pasti laper" ucapnya.
Kami duduk di sebuah meja yang terletak di sudut ruangan. Sudut yang menjadi saksi hubunganku dengan Kefas.
Setelah beberapa saat pelayan meninggalkan kami dengan membawa pesanan kami, tentu saja jenis pesanannya masih sama seperti dahulu, suasana kembali hening. Aku malas membuka pembicaraan.
"Val..,".
Aku tak merespon.
"Val..," panggilnya lagi.
Aku masih dalam posisiku.
"Val.. Gue mau ngomong. Kita perlu ngomong..," ucapnya pelan.
Aku sedikit mengarahkan pandanganku padanya. Menatap dengan ekspresi 'silahkan' tapi 'aku tidak tertarik dengan pembicaraan'.
"Gue seneng lo baik-baik aja..," ucapnya memulai.
"Hm..," ucapku.
"Gue kangen lo. Gue kangen kita yang dulu..."
Hening. Aku tidak berniat merespon.
"Gue pengen kita balik kaya dulu lagi...," ucapnya.
#TBC
Holaaaa.. Balik lagi nih sama si Valen. Sorry ya baru muncul. Gimana kabar kalian? Keep healthy ya..
Author baru selese UTS nih. Alhamdulillah.
Sorry bikin kalian nunggu lama.
Ada yang kangen sama Valen gak?Jadi kalian ada di tim mana sekarang? Tim Kefas? Atau Tim Radit.
Tunggu kelanjutannya ya~~~
😍😍
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGIC SHOP [COMPLETE]
Teen Fiction"Lo mau jadi pacar gue?" "Tapi bukan pacar seperti biasanya!" "Namun mengapa kamu tak mencoba untuk menengok ke belakang. Cobalah tengok sejenak kesana. Kelak kau temukan sebuah cinta dibalas cinta. Sebuah sayang dibalas sayang. Bukan seperti dulu d...