Hari ini aku masuk sekolah seperti biasa. Ah sepertinya tidak terlalu biasa. Aku belum bisa berjalan secara normal akibat terkilir kemarin. Perkiraan Kefas benar. Jika aku kemarin tetap memaksakan berjalan, sendiku akan bergeser. Setidaknya hanya itu yang dapat ku tangkap dari ucapan Dokter Gina, teman Mama.
Aku melangkah memasuki lorong sekolah sendiri. Sepertinya Gita sudah berangkat lebih awal. Kefas? Setahuku dia ada bimbingan olimpiade.
Hubunganku dengan Kefas memang membaik semenjak acara tangis menangis kemarin. Aku dan dia kini menjadi dekat lagi setelah beberapa waktu lamanya kami seperti orang tidak kenal.
Beberapa pasang mata menatapku. Sepertinya tidak beberapa, buktinya sepanjang lorong hampir setiap orang menatapku. Entah apa yang menarik dariku saat ini. Apa karena jalanku yang sedikit pincang atau karena gosip hubunganku dan Radit adalah pura-pura. Atau mungkin karena alasan lain. Aku tidak terlalu peduli. Setidaknya, jangan pedulikan orang yang tidak mengetahui akar masalahmu. Itu pesan Mama tadi pagi.
Aku mencoba jalan seperti biasa. Mencoba tidak terpengaruh dengan lingkungan sekitar.
"Eh.. Kak Valen dateng tuh. Katanya lo mau liat pacar pura-puranya Kak Radit,"
"Ya ampun.. Dia cewe muka tebel ya. Gak malu apa rahasianya udah kebongkar?,"
"Eh liat tuh, dia jalannya pincang. Pasti itu settingan kaya hubungan dia. Hahahaaaa,"
"Dasar cewe murahan..,"
"Pantes lah Radit cuma manfaatin dia. Toh gak cantik banget. Biasa aja. Standar. Pinter? Gak pernah denger nama dia di pengumuman kejuaraan deh,"
Hatiku miris mendengar ucapan seperti itu sepanjang perjalanan menuju kelas. Tidak. Aku tidak boleh menangis. Ini konsekuensi yang aku dapatkan karena mau menjadi pacar pura-pura radit.
Tepat setelah melewati 3 ruang kelas terakhir, aku akan sampai di kelasku. Setidaknya setelah sampai kelas, aku tidak perlu berpincang-pincang. Aku hanya perlu duduk manis saja.
"Aakhh..," aku jatuh tersungkur. Sepertinya aku tadi tersandung sesuatu.
Ku tengok kepalaku ke belakang. Benar saja. Beberapa siswi tampak memandangku. Salah satu diantara mereka sedang mengibas kaos kakinya seperti jijik.
"Duh.. Sorry ya..."
Aku mengangguk.
Sepertinya mereka adalah kakak kelasku. Aku tidak terlalu hafal muka mereka. Setidaknya hanya beberapa kali aku melihatnya.
"Ma.. Maaf kak. Saya tidak lihat jalan," aku berbohong. Aku tahu kejadian sebenarnya, dimana kaki kakak kelas itulah yang sengaja digunakan untuk menyandung kakiku.
"Makanya kalo punya mata tuh dipake!," setelah itu dia pergi begitu saja.
Rasanya kakiku tambah sedikit ngilu. Bagaimana ini? Sepertinya sedikit sulit untuk bangun. Aku ada di kehidupan nyata. Bukan di sinetron atau novel dimana ketika jatuh datanglah pangeran tampan yang akan membantuku.
Aku berusaha bangun secara perlahan. Nihil. Kakiku tidak terlalu kuat menyangga tubuhku. Bagaimana ini?.
Dari arah kantin sepertinya Radit dan Cilla jalan bersama. Cobaan apalagi ini?. Cilla sepertinya ingin menolongku, tapi lengannya ditarik oleh Radit. Ah sudahlah, mengapa aku memedulikan mereka.
Sebuah tangan mengulur padaku. Aku tersenyum ke arahnya. Gita disana dengan tangan kanannya mengulur padaku.
"Ayo cepetan Val.. Pegel nih tangan gue. Mending kalo yang gue tolong cakepnya kaya oppa kuriyah. Nah ini?," ucapnya sambil merengut.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGIC SHOP [COMPLETE]
Teen Fiction"Lo mau jadi pacar gue?" "Tapi bukan pacar seperti biasanya!" "Namun mengapa kamu tak mencoba untuk menengok ke belakang. Cobalah tengok sejenak kesana. Kelak kau temukan sebuah cinta dibalas cinta. Sebuah sayang dibalas sayang. Bukan seperti dulu d...