[5]

4.4K 290 40
                                    


"Dingin..." cicitan pelan terdengar. Hingga gadis bernetra Amethyst itu semakin meringkuk dalam selimut.

Matanya menatap lembut sosok tegap yang tak jauh dari pandangannya. Bibir pulamnya mengulum senyum tulus meski sedikit menggigil.

Pria jangkung berkulit tan itu semakin mendekat, langkah pelannya mengimbangi tangannya yang gemetar membawa dua nampan berisi bubur dan alat kompres.

"Apa masih terasa dingin?" tanya Naruto sembari menaruh nampan tersebut pada meja didekatnya. Tubuhnya berjongkok menyamai posisi Hinata.

Hinata mengangguk, "Terimakasih Naruto-kun..." ucapnya mengulum senyum manis.

"Kau harus makan," kali ini Naruto menyingkap selimut hingga sebatas perut Hinata, "Bangunlah... Aku akan menyuapimu."

Pipi Hinata tersipu tipis, lantas ia hanya mengangguk seraya berusaha duduk dengan Naruto yang membantu.

Satu suapan hingga beberapa suapan diterima Hinata. Iris lavendernya menatap Naruto intens dengan guratan penuh arti. Hingga tangannya terulur dan telapaknya menyentuh pipi tirus bergores sewarna madu tersebut.

Naruto terdiam. Saffire-nya menatap tak berkedip wajah Hinata yang tampak pucat dengan senyum manis terpatri pada sudut bibirnya. Entah untuk keberapa kalinya pesona gadis itu begitu menariknya, namun yang pasti ia harus menekan rasa itu daripada harus kembali berjarak hanya karena perasaan sepihak.

"Apa sudah kenyang?" Hinata tetap diam. Fantasy-nya masih mengarah penuh pada wajah pria dihadapannya. "Hinata... Hey- Hinata?"

Naruto nencubit pelan Hidung mungil Hinata, membuat sang empu terkesiap dengan reflek meringis sembari mengelus hidung kecilnya. Sontak saja mengundang kekehan kecil dari Naruto yang menyadarinya.

"Sakit, Naruto-kun..." mengaduh pada sang pelaku, Hinata masih mengelus hidungnya dengan pipi yang menggembung lucu.

"Maaf Hime..." mata clan Hyuga itu berkedip beberapa kali, lalu terlihat jelas pipi porselennya kini memunculkan semburat merah yang tak lagi tipis.

Untuk sekarang Hinata menerbangkan dirinya. Entah kenapa saat panggilan Hime kembali tersemat untuknya, ada rasa senang yang membuncah dengan kilatan menginginkan lagi, dalam artian panggilan Hime kembali didengarnya.

"Uhm..." Hinata bingung. Jarinya bertaut dengan pikiran melayang pada pesan sang kakak, "Naruto-kun..." panggilnya pelan.

"Kau terlihat cemas?" tanya Naruto menaruh mangkuk bubur yang sudah habis pada nampan, lantas air putih diambilnya dan mengarahkannya pada Hinata.

Hinata mengangguk setelah meneguk hampir separuh air putih tersebut. "Sudah pukul 9 malam." ucapnya membuat Naruto mengerti, "Jika pelayan dirumahku memberitahu Neji-nii... Pasti dia sangat marah."

"Padahal aku belum mengompresmu..." ucap Naruto, "Tapi memang benar, kurasa sudah terlalu malam..."

Hinata menggeleng, kini ia menyingkap selimut dan memperlihatkan tubuh moleknya. "A-ano... Apa Na-naruto-kun tidak keberatan, ji-jika aku menginap? Tapi jika boleh."

Netra sewarna lautan itu membola. Ia terpekik kaget dengan permintaan Hinata yang baginya polos bercampur bodoh barusan. Kepalanya menggeleng pelan, hingga gadis itu menunduk dalam dengan poni tebal yang menutupi hampir seluruh wajah cantiknya.

"Kau tau? Mungkin besok Neji akan langsung pulang dan mencarimu... Aku yakin sisi over-nya akan menuntut semua itu, termasuk kembali keKonoha." ujarnya mencoba tersenyum tanpa menyadari kebodohannya.

"Na-naruto-kun?" Hinata kaget, sangat kaget. Seingatnya tak pernah sekalipun ia menceritakan tentang Neji, dan ia yakin jika Naruto tak mengenal satu-pun Hyuga selain dirinya karena pria pirang itu sendiri yang pernah berkata.

Liver FlavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang