[36]

3.9K 195 43
                                    


***

Siang berganti malam, hingga dentingan jam menunjukan pukul 9 malam tepat. Di dalam rumah sederhana yang dahulu adalah milik bajingan kembar pembunuh. Saat ini, rumah tersebut kembali ditempati sejak kemarin malam.

Setelah membicarakan persiapan untuk menuntaskan misi tadi sore, Naruto tak henti-hentinya berpikir cukup keras. Ia bingung harus merancang cara jitu seperti apa, mengingat saja kali ini lawannya bukan level biasa, melainkan level tertinggi. Akatsuki dan Danzo.

Sesekali ekor matanya menciptakan sebuah lirikan, tepat di mana dua insan yang saling bercengkrama membagi cerita. Dalam hati ia mendecih malas, kala Hinata tampak antusias saat bersama Kiba.

"Hinata." Tetap melirik seolah tak berminat. Ada yang menggerakkannya untuk menjauhkan wanita indigo itu dari teman lamanya. "Masuk kamar dan tidur." Kali ini ia berdiri tegap, lalu berjalan perlahan menghampiri sang empu.

Kiba memunculkan kerutan aneh di keningnya. Ikut berdiri seraya menghadap si pirang. Di sana ia melihat kecemburuan Naruto yang sangat kentara. "Kau seperti ayah cerewet saja. Jika kau ingin tidur, tidur saja sendiri. Tidak perlu menyuruh Hinata."

Lagi-lagi Kiba membuatnya ingin marah. Naruto tak habis pikir, tentang sahabatnya itu yang ceplas-ceplos tanpa tata krama. Bermulut besar dan sangat menyebalkan. Narto teringat sesuatu, biasanya ia menyuruh Kiba membuat kerusuhan sebagai pengalih perhatian saat dulu. Yah, mulut besarnya itu yang sangat membantu.

"Hinata, jangan membantahku." Tatapannya berubah agak garang. Lantas, ia buang secara perlahan deru nafas hangat melalui rongga hidung. Tetap saja ia tak tega mendapati respon Hinata yang menunduk takut karenanya.

"Naruto, jangan bersikap seperti itu padanya. Kau ini, jahat sekali pada kekasihmu..."

Terpekik kaget kala ada suara lain yang ketiganya dengar. Nada pria yang sangat khas seketika membuat atensi Naruto dan Kiba juga Hinata teralihkan. Tepat pada pria merah dengan mata tanpa garis alis.

Hinata yang merasa masuk dalam pembicaraan ini entah kenapa menjadi gugup. Ia merasa, Gaara maupun Kiba sangat menginginkan Naruto bersamanya seperti dahulu. Entah ini hanya perasaannya saja atau hanya tebakan, yang pasti akhir-akhir ini dua pria itu seperti mendukungnya.

Tak sengaja mata sang juru masak menangkap aura tak sedap dari sahabat kunignya. Dan, Kiba juga mencium bau alkohol. Ia yakin bau agak menyengat ini berasa dari Gaara yang keluar rumah hampir satu jam.

"Tenang, Naruto. Lihatlah, Gaara sedang mabuk. Dia tidak bisa mengontrol ucapannya." Ucapnya seraya mendekati Gaara. Lantas, ia tarik tangan pria bersurai merah itu agak kasar. Kiba tak mau Naruto yang sedang bersuasana hati kurang bagus terpancing Gaara yang tengah mabuk.

Kini tinggalah Hinata dan Naruto. Berbeda dengan sang pria yang menatap intens lekuk tubuh yang kemarin malam ia nikmati itu, Hinata dominan terbawa suasana mencekam. Ia takut dengan Naruto yang sekarang.

Sejenak kepala indigonya terangkat. Menatap dalam diam manik sewarna birunya laut yang sangat ia sukai. Lantas, Hinata kembali menunduk kala dirasa Naruto memasang wajah garang.

"Hinata, kau tidak dengar perintahku tadi?" Naruto semakin mendekat, ia angkat dagu lancip wanitanya sembari bertatap beda makna. Seketika ada rasa sesal membuncah, mengamati dengan teliti permata amethyst tersebut yang berkaca-kaca.

Liver FlavorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang