"Aku tau orangnya, bahkan sangat tau.""Jangan bertele-tele. Kita tidak punya banyak waktu..."
"Dia seorang berandalan, tapi kabar yang aku dapat dia sudah tak lagi terjun ke-dunia keras..."
"Aku tidak butuh penjelasan itu, katakan saja siapa dan dimana dia?"
"Aku tidak tau dia dimana! Tapi yang pasti terus gali informasi disana, cepat atau lambat polisi akan bertindak."
"Urusi anjing-anjing kita. Hasut mereka agar tetap mengalihkan perhatian polisi, pastikan Konoha aman sebagai tempatku mengorek Liontin itu..."
"Kau tenang saja. Tapi jangan terlalu lama kau mendapat informasinya, para yakuza terus menanyakannya, bahkan mungkin ada yang turun langsung menyaingimu."
"Ini semakin sulit! Kita berperan ganda, tapi tetap pada peran utama..."
Sambungan terputus, menyisakan rasa yang begitu membuat sosok yang kini berdiri pada ruang tamu rumahnya menjadi setres. Sungguh hal ini membuatnya sulit berpikir.
"Berandalan?" pikirnya mencoba mencerna ucapan pada telepon tadi, "Dia tak lagi terjun? Sepertinya ini akan sangat sulit, bahkan mencari liontin sepertimu membuatku gila!!"
***
Rintik-rintik kecil berlomba turun melalui cakrawala menghasilkan butiran kecil yang selalu basah. Tetesan air dengan skala kecil itu masih enggan berhenti walau kini langit sedikit bersahabat.
Langkah kecilnya tersendat sedikit terseok akibat licinnya bagian bawah jalanan yang kini beradu dengan dasar sepatu skeats miliknya. Terkadang langkah kecilnya berubah menjadi sedikit cepat menghindari hujan gerimis yang melanda kota sejak empat jam yang lalu.
Gerimis masih setia menuruni puncak kepalanya, hingga timbul kilauan basah pada helaian indigonya. Terasa lepek dan sedikit risih, gadis dengan bola mata Amethyst itu tetap berjalan menyusuri trotoar yang terasa sedikit licin.
Entah apa sebenarnya yang ia pikirkan, tapi yang pasti tujuannya saat ini menemui seseorang yang begitu membuatnya merindu, hingga rasa rindu itu menjadi landasan utama dari niatnya, tak ada lagi alasan yang akan menjadi tolak acuan untuk menyangkalnya, karena menyangkal semuanya hanya akan menekan rasa rindu itu pada palung hatinya.
Seseungguhnya ada hal yang selalu berkecamuk entah apa dalam perasaannya. Tak sedikitpun terpikir olehnya akan seperti ini, sungguh Toneri-pun kini tak bisa menjadi pengobat rindunya pada lelaki yang selalu mengisi harinya dikala sepi.
"Apa Naruto-kun belum pulang ya?" bergumam lirih memandangi flat yang kini menjadi atensi utamanya. Jika boleh jujur sebenarnya ia sudah pasti tau jika Naruto akan pulang bila langit sudah gelap, tapi nyatanya kini ia malah datang dikala sore hari bahkan belum menjelang petang.
Mendadak ada rona merah tipis yang membingkai dikedua pipi tembamnya, bibir pulamnya pun tak luput untuk tak mengimbangi kesan manis pada wajahnya dengan mengurvakan senyuman manis. Sungguh ia sangat manis jika seperti ini.
Panggilan Hime pertama kali tersemat olehnya kini kembali teringat pada memory indahnya. Halaman depan flat tersebut merupakan bukti sekaligus saksi dimana untuk pertama kalinya ada seseorang yang lancang memanggilnya Hime, namun nyatanya ia sama sekali tak menolak, ada kesan berbeda dikala Naruto memanggilnya seperti itu.
"Hinata...?" pekik Naruto kaget kala sosok yang kini terpampang didepan rumahnya adalah Hinata.
"Hay, Naruto-kun." tersenyum sembari mendekat kearah Naruto.
KAMU SEDANG MEMBACA
Liver Flavor
Fanfiction[Masashi Kishimoto] [NaruHina Story] [Alternative Universe] -Flow forth-