Defan melaju dengan kecepatan standar menuju ke rumahnya.
Hanya butuh 5 menit saja untuk jarak toko bibit dengan rumahnya. Ah lebih tepatnya rumah keluarga pak Wijaya.
"Den Defan baru pulang" sambut bi Ija salah satu asisten rumah tangga di rumah ini.
"Iya bi" jawab Defan singkat sambil berjalan menuju kamarnya.
Rumah Defan memang sangatlah besar dan mewah. Tapi, rumah ini sangat sepi seakan tidak ada kehidupan, Defan hanya biasa melihat wajah bi Ija saat pulang ke rumah. Bahkan, di hari minggu pun Winata dan Melia selaku orang tua Defan pun tidak ada di rumah.
Saat ini Defan duduk di balkon sembari memainkan gitar kesayangannya.
"Den Defan di panggil sama Tuan besar di bawah, katanya di suruh makan" panggil bi Ija dari balik pintu.
Defan yang menyadari panggilan bi Ija langsung keluar dari kamar dan bergegas ke bawah.
Yah, meja makan yang ada di rumah Defan pun sangat besar hingga bisa di tempati oleh 10 orang. Tapi, jangan harap meja itu akan ramai karna hanya ada Pak Wijaya (kakek Defan) dan Defan saja.
Pak Wijaya tersenyum manis kepada cucu sulungnya itu.
"Halo kek" sapa Defan sambil mengambil posisi tepat di depan Pak Wijaya.
"Kenapa dengan wajah kamu?" tanya pak Wijaya.
Pak Wijaya memang satu-satunya orang yang selalu memperhatikan Defan.
"Ini hmm biasa kek anak laki-laki" jawab Defan dengan gagu.
"Kamu tidak perlu berbohong, kakek tau kamu buat ulah lagi kan?" tebakan pak Wijaya memang selalu benar.
Defan tidak bisa mengelak lagi dan akhirnya mengangguk pasrah "maafin Defan kek"
Pak Wijaya mengangguk "kalau papa kamu liat dia bisa marah" jeda "kakek mau kamu ubah sikap kamu def"
Tiba-tiba nafsu makan Defan menghilang hanya dengan kata-kata itu.
Defan yang terkenal dengan kepala batu itu pergi begitu saja dari hadapan pak Wijaya.
"Ayah kami pulang" teriak Melia (mamanya Defan) yang baru memasuki pintu rumah.
Winata ikut tersenyum saat memasuki rumah.
Winata dan Melia memang beberapa hari pergi ke Jerman karna tugas kantornya.
Pak Wijaya yang menyadari ke datangan anak dan menantunya itu, lalu menghampiri mereka.
Sementara Defan yang baru manaiki setengah anak tangga mematung melihat aktivitas orang tua dan kakeknya.
"Yah Rangga mana?" seru Melia dengan semangat.
Defan yang mendengar itu hanya bisa tersenyum pahit, pasalnya Winata dan Melia sedari tadi hanya melihat Defan saja tanpa memberikan sapaan, seolah mereka tidak memiliki ikatan apapun.
"Mungkin Rangga ada di kamar" jawab pak Wijaya.
"Rangga.. Rangga" kini Winata yang memanggil nama itu.
Tiba-tiba mata Defan beralih pada sosok laki-laki yang 2 tahun lebih muda dari dirinya menuruni anak tangga dengan semangat.
"Mama papa" teriaknya kegirangan.
"Hai sayang" sapa Melia.
"Papa ada oleh-oleh untuk kamu" jeda "ini dia buku yang kamu pesan plus sudah ada tanda tangannya" kata Winata sembari memberikan buku yang terbilang cukup tebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Did My Heart Love?
Novela JuvenilKamu hanya perlu sedikit memahami apa itu definisi cinta maka, kamu tidak akan pernah merasakan yang namanya "Patah Hati" Karna, kebanyakan manusia hanya bisa merasakan cinta namun, tidak bisa memahami👌🏻