Bagian 9

23K 1.3K 88
                                    

Dua Minggu Kemudian

Claudya Pov

Aku berdiri mematung di depan kaca besar yang ada di kamarku untuk bersiap siap dan sedikit memoles wajahku agar tidak pucat. Senyuman manis tak pernah terlepas dari wajahku sedetik pun sejak saat itu, karena seseorang yang menjadi sumber senyumanku tidak pernah berhenti membuat sudut bibir ini tertarik menuju dua arah yang berbeda.

TIN.. TINN..

Terdengar suara klakson mobil yang memberikan tanda jika sudah ada seseorang sampai di pekarangan rumahku. Aku bergegas mengambil tas ku dan juga buku-buku yang telah aku siapkan sejak tadi malam.

Dengan tergesa-gesa aku sedikit mempercepat langkah ku karena tidak mau seseorang itu menunggu terlalu lama. Setelah mengunci pintu rumahku, aku bergegas menghampiri mobil yang sudah terparkir rapi di pekarangan rumahku.

"Pagi" ucapnya seraya tersenyum manis dan memamerkan deretan giginya yang rapih itu. "Pagi, maaf ya kelamaan nunggunya" ujarku dengan nada tidak enak kepadanya. "Nunggu kamu seribu tahun aja aku rela" gombalnya padaku. "Pagi-pagi udah gombal?"

"Aku juga nggak tau kalau sama kamu itu bawaannya pengen gombal"

"Cihh, dasar" ucapku sambil memukul bahunya dengan pelan. "Yaudah mari kita berangkat tuan putri"

Akupun hanya mengangguk mengiyakan ucapannya, dan akhirnya kami pun berangkat bersama menuju sekolah tercinta.

Dua minggu terakhri kami selalu berangkat dan pulang sekolah bersama sama. Dan entah mengapa dia bisa berubah 180 derajat menjadi sosok yang sangat dewasa, menemaniku dalam hari-hari berat yang penuh ketakutan karena trauma sejak kejadian itu.

Sikapnya yang penuh kasih sayang, ketulusan dan cinta membuat ketakutan yang selalu menghantuiku perlahan memudar karna kehadirannya.

Aku rasa aku kalah telak dengan keadaan, dan memakan ucapanku sendiri. Karena kini dengan mudahnya aku mulai membuka hatiku untuknya. Kebencian yang selama ini bersarang di hatiku tiba-tiba menghilang ntah kemana.

Aku tidak tau kenapa dunia bisa berubah secepat ini, yang aku tau kini hanyalah sosoknya yang selalu aku inginkan setiap saat. Terdengar naif memang jika aku berkata seperti itu, aku memang terlihat seperti wanita yang tidak tau diri.

Kini aku percaya cinta dan benci hanya di batasi oleh dinding tipis yang bisa rusak kapan saja. Perlu ku akui, semenjak kejadian mengerikan itu Syanin sudah sepenuhnya merusak dinding kebencianku padanya. Sungguh kini aku sangat menyayanginya, dan bersyukur kepada Tuhan karena telah mengirimkan satu malaikatnya untukku.

"Hei ngelamun aja? Mikirn apa sih sampe senyum-senyum gitu?" Kata Syanin yang mengagetkanku.

"Gak ngelamunin apa apa ko" ucapku berbohong kepadanya, karena tidak mungkin aku berbicara jujur bahwa aku sedang melamunkannya.

"Jangan ngelamun nanti kamu kesambet"

"Sembarangan!"

"Bercanda Leen" kata Syanin sambil mencubit pipi kanan ku dengan pelan dengan tangan kirinya.

Leen, Ah aku suka sekali setiap dia memanggilku seperti itu. Aku sengaja menyuruhnya memanggilku seperti itu, karna itu adalah panggilan kesayangan dari Ayah dan Ibuku. Ileen.

Aku ingin syanin pun memanggilku seperti itu, seperti kedua orang tuaku.

"Udah sampe nih, masih betah di dalem mobil?" Ucapnya sambil terkekeh. "Loh udah sampe ternyata?" Tanya ku keheranan.

"Mangkanya suruh siapa ngelamun terus? Ngelamun itu menghilangkan sebagian memori di otak kita tau."

"Iyaiya gak ngelamun lagi ko, yaudah yuk turun"

Gorgeous TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang