Siang itu, awan baru saja mampir dalam benak. Ia sengaja membawa bekal pikiran yang ada. Aku baru saja merindumu, awan. Sedetik lalu, aku putuskan untuk mencintaimu, apapun bentukmu.
Aku tau, kau awan hitam yang kelam, penuh dengan kekelaman dan kecemasan. Tapi, aku tak perduli seberapa hitam dan buruknya dirimu. Yang aku tau, aku terlalu mencintaimu. Yang aku peduli titik-titik air yang menyegarkan ketika kau lewat.
Begitu kata tanah sambil menengadah ke langit. Tanah, aku juga terlalu mencintaimu. Betapapun kotornya dirimu yang selalu berdebu. Aku juga sudah kepalang cinta padamu. Tapi, aku pun juga tak mau perduli tentang seberapa kotornya dirimu, seberapa rendahnya dirimu,seberapa ringkihnya dirimu.
Yang aku tau adalah rumput-rumput hijau yang segar, tanaman-tanaman buah yang ranum justru tumbuh dari kerendahanmu. Dan tubuhmu yang rela terkikis demi menerima jarum-jarum air yang jatuh ketika aku lewat.
Aku melihat mereka dari kejauhan (berteduh dibawah pohon rindang). Dan sedetik lalupun, tampaknya aku merasakan hal yang sama (seandainya). Aku melanjutkan langkahku menuju ke persimpangan selanjutnya.
Medan, 02 Februari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja (Diangkat Dari Kisah Nyata)
Ficção AdolescenteTepatnya 1 tahun 8 bulan sudah akan tiba. Dimana masa-masa yang sangat sulit, hari demi hari beriringan dengan sunggingan senyum manis dihampiri dengan perasaan yang masih membekas_memar. Aku perlu tau, seakan menjadi topik pembicaraan kita tempo ha...