Aku melihat fajar mulai menyingsih memancarkan sinar biasnya, menyambut langit biru yang terhampar luas. Aku bertegur sapa dengan awan putih. Pagi begitu cerah di tengah kebisuan yang hampa.
Aku termenung diujung lara, menatapi semua orang yang berlalu lalang. Terdiam membisu melihat keramaian, melirik sendu kesepian yang menertawaiku.
Apa bedanya kau dengan mereka (?)
Barisan tiang jalanan yang berdiri disana tak pernah sendirian. Namun menelan kesepian yang menyedihkan.
Aku sempat tersenyum sambil mengulum tangis, memamerkan topengmu pada semua orang yang bahkan tak perduli dan tak sedikitpun mau menyapa sepi atau sekedar melirik sendu.
Aku hanya bisa termenung di sudut ruang itu. Menggores senyum lagi berseka air mata, mengusap luka dalam diam, meraih topeng untuk ku pakai lagi.
Segenggam asa aku pertahankan, secercah semangat ku simpan dengan perlahan perih datang, merangkul hati yang bersedih, menyeka batin yang merana.
Sungguh tragis sekali hidupmu. Didatangi ketika kau dibutuhkan, lalu menjadi terbuang setelahnya, tak berguna lagi.
Seumpama sebuah kertas yang digunakan saat polos dan ditinggalkan setelah terisi tinta.
Sebuah nasib yang mutlak melekat pada hidupmu. Dispesialkan hari kemarin, dan esok bukan apa-apa lagi. Namun, kau tetap bertahan.
Ku lirik secangkir teh allure di mejaku. Melambai-lambai memintaku untuk meminumnya, menjelmakan kenikmatan yang nyata dalam lidahku.
Aku menikmatinya sama seperti menikmati kenyataan dikala bahagia meredup, bertahan dalam sulitnya hidup. Terimakasih pernah membuatku berharga.
Medan, 19 Februari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja (Diangkat Dari Kisah Nyata)
Fiksi RemajaTepatnya 1 tahun 8 bulan sudah akan tiba. Dimana masa-masa yang sangat sulit, hari demi hari beriringan dengan sunggingan senyum manis dihampiri dengan perasaan yang masih membekas_memar. Aku perlu tau, seakan menjadi topik pembicaraan kita tempo ha...