Masih dalam keadaan jengkel, Diana beranjak dari ranjang mengikuti Helena. Dengan jarak beberapa langkah, Diana berhenti karena melihat Helena dan Adam berpelukan di depan pintu tidak lupa juga ciuman panas mereka yang sangat lama membuat wajah Diana memerah menahan malu. Mereka seperti tidak ada tempat lain saja. Bagaimana nanti dengan omongan para tetangga?
Mereka melepaskan tautan bibir lalu menatap Diana. "Aku pulang dulu, Sweety. Rupanya suamiku pulang awal hari ini." Helena memainkan jarinya di hidung Adam yang disambut ciuman-ciuman kecil di kelima jari Helena.
Sekali lagi Diana menunduk malu menyaksikan itu. Benarkah ia malu? Atau ia merasa iri? Andai saja Jeremy—
Diana menggelengkan kepalanya mengusir pemikiran seperti itu. Sudah jelas sekali ia sangat iri. Betapa beruntungnya Helena- tidak, tidak, tidak... Betapa beruntungnya Adam mendapatkan Helena. Wanita yang sangat kuat. Diana saja kalah dengan ketegaran Helena dalam menghadapi masa lalunya.
Diana saja yang sudah pacaran 2 tahun harus kandas di tengah jalan sedangkan Helena, wanita itu tidak perlu berpacaran sudah mendapati pria di sisinya untuk seumur hidupnya. Diana tidak pernah memikirkan mereka akan menjadi keluarga bahagia. Diana bisa melihat dengan jelas mata Adam yang tidak pernah lepas dari Helena. Pria itu sangat mencintai Helena... Dan memujanya...
Diana mendekatkan diri dengan Adam dan Helena. Dan sangat jelas sekali perbedaan tinggi badan mereka. Diana yang hanya memakai sandal tipis rumahan hanya setinggi bahu Helena. Bayangkan saja bagaimana tinggi badannya jika di bandingkan dengan Adam.
"Kami pulang dulu," ujar Adam menunduk mencium pipi Diana sebelum membawa Helena.
"Err... Sweety?" panggil Helena menghentikan jalan.
"Ya?"
"Aku tahu kau sudah dewasa dan aku yakin kau bisa mengatasi masalahmu. Tapi jika kau tidak mampu menanggungnya di pundakmu, kau bisa berbagi dengan kami. Dan terimakasih telah menceritakan sebagian masalahmu kepada kami."
Diana mengangguk dan tersenyum. Adam lalu menyampirkan lengan kanannya di pinggang Helena. Dan mereka membalikkan tubuh membelakangi Diana menuju lift lantai tersebut.
"Take care, Sexy! Err... Mr. and Mrs. Pallas!"
Adam dan Helena hanya melambaikan tangan mereka ke atas. Setelah itu Adam melirik ke kanan-kiri menatap pintu-pintu apartemen yang tertutup. Kemudian menampar bokong Helena cukup keras disusul kekehan saat Helena terkesiap sebelum memasuki lift.
Diana masih bersandar di depan pintu dengan kaget bukan main menatap 2 orang itu. Dapat ia rasakan wajahnya memerah karena malu.
"Ya Tuhan..." bisiknya.
Ia masih menatap lift yang sudah tertutup. Tidak ingin berlama-lama, Diana kembali masuk dan mengunci pintu. Ia duduk di sofa tadi dan melirik cake yang sudah habis. Lalu menatap TV di depannya dalam keadaan mati. Apakah seharian ini ia akan seperti ini? Apa 1 minggu ke depan dia akan tetap di rumah? Diana menengadahkan kepalanya seakan itu bisa mengusir kebosanannya. Diana butuh hiburan atau apapun itu. Ia butuh pengalihan. Mengalihkan pikiran dari Jeremy dan Jeremy. Jujur, dia memang masih mencintai Jeremy. Tapi di lain sisi ia sangat membenci pria itu. Diana saja tidak tahu rasa yang mana yang lebih dominan. Rasa cintanya 'kah... Atau kebenciannya...
***
Hari ini adalah hari ke-3 Diana cuti. Dan sekarang ia berada di dalam mobilnya hendak pergi mengajar. Entah kenapa pilihan berjalan kaki ke tempat ia mengajar tidak bisa ia lakukan karena satu hal. Padahal masa cutinya masih 2 hari tapi karena seluruh ingatan saat ia mabuk beberapa hari lalu masuk begitu saja dengan lancar. Dari awal hingga ia tertidur dalam dekapan Ethan. Dan itu sangat membuat dia seperti orang bodoh dengan sekujur tubuh menegang keringat dingin. Satu hal yang tidak ingin ia ingat malah mengalir lancar begitu saja. Padahal itu sudah beberapa hari yang lalu. Dan kenapa kejadian itu muncul saja tadi pagi? Sampai-sampai Diana melupakan masalahnya dengan Jeremy. Untung saja pria itu tidak ada di depan apartemen Diana.
"Sial, jangan lari kau Jeremy! Aku akan mencincang tubuhmu dan aku akan menyimpan ereksi dan kedua bolamu sebagai hidangan penutup lalu memberikannya ke kucing tetanggaku!!!"
"Ckck... Aku kira kau mengingat setiap detail kejadian tadi malam... Bukankah tidak seru jika aku saja yang mengingat bagaimana liarnya dirimu tadi malam?"
"Hey apa yang kau lakukan? Pencuri!! Tolong ada pencuri!!! Tolong aku! Ada pria gila yang ingin mencuri selangkanganku!!"
"Mulai dari mobil bergoyang,"
"Aku memiliki vagina!"
"Membuka baju,"
"Aku ingin muntah."
"Sayang sekali... Padahal semalam adalah malam yang sangat melelahkan buatku dan juga kau."
"Hiks... Hiks... Mama? Mana Lily? Aku tidak bisa tidur, Hiks..."
Diana mendaratkan kepalanya di stir kemudi. "Astaga..."
Betapa malunya!
Seumur hidupnya, Diana mengaku baru kali ini ia se-liar itu. Betapa barbarnya dia. Diana berharap semoga ia tidak akan pernah bertemu dengan Ethan. Karena ia belum siap dan tidak akan pernah siap menatap wajah pria itu. Tapi dari ingatan itu ia bersyukur artinya ia masih perawan dan di sisi lain ia sangat ingin menenggelamkan dirinya di segita bermuda atau berenang di gunung api yang ingin meletus karena saking malunya ia pada diri sendiri.
***
Diana menghempaskan bokongnya dengan kasar di balik meja kerja. Langsung mengambil bolpoin untuk menilai gambar anak didiknya. Yang ada di dalam pikirannya adalah kerja, kerja, dan kerja. Diana merasa menyibukkan diri merupakan cara yang ampuh untuk melupakan kejadian sialnya saat itu.
Lucy yang menatap Diana datang mengerutkan dahinya. Ia memutar kursinya menghadap Diana. "Aku dengar kau cuti, apa secepat itu cutinya?"
Diana menghentikan aktifitasnya menatap Lucy yang tengah bersedekap menatap dirinya dengan kening mengerut. Dan wow! Baru kali ini dalam 1 tahun Lucy mengajar, wanita itu baru menatap Diana saat berbicara. Perlukah Diana berdiri dengan kaki di atas dan tangan di bawah? Atau menggelinding sepanjang 5th avenue untuk merayakannya?
"... Aku—"
"Oh Lucy! Cepat juga kau masuk! Dan hey Diana, kau juga... Aku hampir saja berfikir jika kalian berdua berjodoh karena masuk bersamaan...!" teriak Daisy saat masuk ke ruang memotong pembicaraan Diana.
Diana mengerutkan dahinya. Apa maksudnya?
"Bagaimana keadaan Ayahmu?" tanya Daisy pada Lucy.
"Sudah mendingan," ujar Lucy tersenyum namun ada kesedihan di matanya.
Kerutan dahi Diana semakin jadi, Diana tahu jika tempat tinggal asli Lucy di Kanada. "Ayahmu sakit?"
Lucy mengangguk pelan.
"Kapan kau pulang?" tanya Diana lagi.
Sekarang Lucy yang mengerutkan dahinya, "Hari sabtu. 5 hari yang lalu... Aku pikir aku sudah memberitahukanmu dan yang lainnya."
"Sepertinya aku tidak mengingatnya." Diana bergumam polos. "Oh, Lucy. Aku minta maaf. Kuharap Ayahmu baik-baik saja. Kau tahu, Ibuku bilang jika pelukanku itu dapat menyembuhkan semua penyakit. Jika aku bertemu Ayahmu kelak aku akan memberikan pelukan hangat ku."
Lucy tersenyum hangat. Wanita itu ingin menangis. "Ya. Kau pasti akan bertemu dengannya. Dan sekarang bagaimana denganmu?"
Pertanyaan Lucy membuat Diana menoleh kembali. Wanita itu masih setia menatap Diana. "Aku kenapa?"
Lucy menghela nafas memutar bola matanya. "Aku dengar dari Mr. Grill tadi pagi bahwa kau cuti. Dan betapa terkejutnya aku saat kau masuk seperti tubuh tanpa jiwa."
"Kemarin aku hanya tidak enak badan makanya aku ambil cuti dan sepertinya aku cukup sehat untuk bekerja hari ini."
"Jika kau sakit kenapa tidak meminta izin sepertiku? Bukankah sayang mengambil cuti seminggu untuk beberapa hari saja?" gerutu Lucy.
Diana hanya tersenyum samar. Bukan hanya Venus saja rupanya yang mengkhawatirkannya, Lucy pun ikut khawatir. Terlihat dari sikapnya yang tidak suka saat tahu Diana jatuh sakit.
Mungkin Lucy bisa bergabung dengan Venus... Astaga!
Sepertinya Diana masih berduka.
![](https://img.wattpad.com/cover/103877942-288-k992183.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEETY VENUS [#2 VENUS SERIES]
RomanceThe second book of Venus Series [21+] Diana datang ke bar setelah memutuskan pacarnya yang telah berselingkuh darinya. Ia ingin melepaskan semua beban pikirannya, melupakan pria berengsek yang telah mengecewakannya. Menari, mabuk dan bahkan jika ia...