Chapter 16

117 35 16
                                    

Budayakan vote sebelum membaca ya :) walau sederhana itu suntikan semangat bagi penulis lho. Hehe. Jangan jadi sider oke? Bonus komen juga gppah jangan takut aku gamakan orang kok, wkwkwk.

Sudah?

Oke, happy reading!!!

*****

Brak!!

Aku terkesiap. Jika aku tidak memegang pulpenku erat-erat mungkin kini dia sudah meluncur bebas di atas lantai. Aku mendongak, mataku mendapati Lavie yang kini tengah berdiri di samping meja. Dengan wajah yang sangat berbinar-binar ia menatapku tak luput dari senyuman yang tak lepas dari kedua sudut bibirnya. Jika diingat-ingat akhir-akhir ini Lavie suka sekali menggebrak meja. Dengan sedikit kesal aku berkata, "Apaan sih lo? Dateng-dateng bukannya pake assalamualaikum malah gebrak-gebrak meja gak jelas! Pagi-pagi juga, bikin mood gue buruk aja lo." Tanpa memperdulikan mulutku yang monyong-monyong tidak jelas merutuki dirinya, ia berlari menuju mejanya, dengan kasar ia menaruh tas kemudian duduk di tempat duduk Aland. Masih dengan senyum yang tak lepas mengiringi. Hal ini membuatku khawatir, takut-takut Lavie sudah hilang kewarasannya.

"Lo kenapa sih? Senyum-senyum najis kayak gitu? Lo kesetanan ya?" kataku sambil mencondongkan tubuh sedikit menjauh darinya, ya ini hanya pencegahan saja kalau-kalau nanti Lavie akan berbuat hal-hal yang tidak masuk akal. Lebih baik mencegah daripada mengobati bukan?

"Lo tau nggak...." Lavie menggantung kalimatnya, tangannya ia gunakan untuk mengusap wajahnya gemas. Entah karena apa.

"Tau apa?"

"GUE JADIAN SAMA RAY!" teriak Lavie, refleks aku menutup kedua telingaku. Aku bilang apa, ia pasti akan berbuat yang tidak-tidak.

"Aduhhh! Gak usah teriak-teriak kenapa sih?" pekikku, suara toa Lavie kini berhasil menarik semua mata manusia yang berada di ruangan ini.

"Sorry, gue lost control, hehe. Lagian gue senang bangeeet!" aku mengernyit memperhatikan ekspresi wajah yang dimunculkan oleh Lavie. Aneh.

"Alay lu!" kataku sambil kembali melanjutkan acara tulis-menulis yang tertunda tadi. Menghiraukan diri Lavie yang kini merutuk tidak jelas di sampingku. Jadian sama Ray? Bukan sesuatu yang waw bukan? Mereka sudah lama deket jadi hal itu adalah hal yang biasa.

"Alyssa, ih! Kok lo gitu sih? Kok lo gak kaget?" aku menoleh ke arah Lavie, bibirnya kini mulai mengerucut kesal.

Dengan sedikit malas aku menjawab, "Harus banget ya kaget?"

Lavie mendengus, menatapku dengan tatapan yang mematikan sedetik kemudian, ia menggerak-gerakkan kakinya layaknya bocah berumur 4 tahun yang merajuk meminta mainan.

"Ck, yaiyalah. Kan biar bikin gue tambah seneng!" aku terkekeh mendengar jawaban Lavie, jujur sekali dia.

"Banyak maunya lo! ditembak sama Ray aja lo udah untung berkali lipat, tuh."

Lavie mendegus kesal. Tanpa diduga sebelumnya ia memukul lenganku refleks, aku meringis. "Aduh! Ngapa lo mukul gue?" pekikku sambil mengelus-elus lenganku sembari mencondongkan tubuh sedikit menjauh darinya.

Lavie bersedekap, bibirnya kini monyong-monyong tak karuan. "Lo pikir gak ada yang mau sama gue gitu? Kalok gue gak sayang sama Ray, sekarang juga kalok gue mau gue udah pasti punya banyak pacar. Untung gue sayangnya cuma sama Ray!" teriak Lavie sarkatis. Aku berusaha menahan senyumku dikala melihat ekspresi yang dimunculkan Lavie, seperti baju yang belum disetrika—kusut.

"Seriusan? Yaudah sana. Noh, tanyain ke Ucup dia mau nggak jadi pacar elo?" kataku berniat menjailinya. Seperkian detik wajah Lavie memunculkan keterkejutan. Tapi dikala ia melihat senyum miringku ekspresi wajahnya kembali menjadi angkuh.

Dinosaurus I'mn love.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang