-Mengerti disaat semua terhenti. Dan berfikir disaat semua berakhir-
Utopia - Hujan
Seorang gadis tengah berada di bawah naungan malam. Telapak kakinya terus melangkah membelah keramaian jalan. Dirinya berpijak di atas trotoar yang bersisihan di kanan-kirinya. Suara deruman kendaraan yang berlalu lalang tak bisa mengindahkan rasa rapuh nan sesaknya sekarang dan luka hatinya yang semakin lama semakin perih. Sorot matanya menatap kosong ke arah jalanan yang ada di depannya. Wajahnya kini kian pucat bercampur memerah. Rambut yang terbiasa rapi kini berantakan tak beraturan. Bibirnya bergetar hebat. Ada awan mendung yang menggelayuti bola mata indahnya. Tubuhnya melemas. Lama-kelamaan kakinya tergulai melemah. Jalannya perlahan melambat. Dan deru napasnya yang tersumbat. Helaian raganya seolah terbang.
Sebentar lagi akan segera turun hujan. Terbukti karena adanya petir yang menggelegarkan telinga gadis itu dan kilat menyeramkan melintas sekilas di atas langit yang gelap. Perlahan kepalanya mendongak mengamati pemandangan yang terlihat jauh dari matanya. Awan yang mulai memerah mendung dan Bulan Purnama kesukaannya yang lama-lama akan menjauh. Setelah itu, kepalanya kembali datar dan kembali menatap jalanan yang di penuhi kendaraan beroda empat dan beroda dua.
Sebenarnya Sella benci hujan. Tapi setitik air demi setitik yang langsung tumpah buyar membasahi bumi itu tak bisa dipungkiri olehnya karena hujan yang turun bisa menyambungkan air matanya dengan air ciptaan Sang Kuasa hingga semua orang tidak bisa melihat dirinya yang sedang menangis. Menangis dalam diamnya. Sella bisa melihat orang yang sibuk meneduh dan sibuk mengendarai dengan kilometer yang cepat agar bisa mencapai masing-masing rumahnya.
Hingga kakinya membelokkan ke arah kanan jalan. Dan alas kakinya menapak di sebuah kompleks yang ditemani hiasan lampu berwarna kuning dengan cahaya minim. Matanya menjelajahi setiap rumah modelan minimalis yang berjajar hingga ke sudut jalan. Seketika Sella berhenti di tengah-tengah karena merasa tubuhnya yang begitu menggigil kedinginan. Sella masih diam tak tahu harus melangkah kemana lagi. Hingga akhirnya kelopak matanya memejam, dan dalam jangka waktu 5 detik, ia sudah berada di dalam lindungan seseorang.
****
Ting nong! Ting nong!
Suara bel rumah Zarka berbunyi dua kali. Dirinya yang tengah duduk di sofa sembari memangku buku tebal PSIKOLOG, langsunglah ia menaruh buku tersebut dan melangkah menuju daun pintu.
Seketika pintu rumah sudah terayun ke belakang, barulah Zarka melihat seseorang yang sangat ia rindui sudah berada tepat di depan tubuhnya.
"Yo what's up bro! Lama gak ketemu!" Cowok itu refleks menjatuhkan koper miliknya dan dengan senang memeluk Zarka dengan khas ala cowok.
"Yooo!" balas Zarka, menepuk-nepuk punggung saudaranya cepat.
Alfi Elfano Argya. Saudara jauh Zarka yang berniat pindah sekolah dari kota Bandung ke kota Metropolitan--Jakarta. Alfi di kirim Orang Tuanya untuk menemani Zarka yang sendiri di Jakarta. Dan itu diterima antusias Alfi sendiri. Dan bagi Zarka juga, itu tidak di permasalahkan. Dirinya sudah biasa oleh kesendirian, dan masih terlalu asing akan keramaian. Tetapi, karena saudara laki-laki satunya sudah berada di jangkauannya, itu bisa akan sangat menjadi menarik untuk menemani hobinya di rumah kala ia bosan.
Alfi menyembulkan kepalanya ke dalam berniat melihat isi dalam rumah Zarka. "Wah, gila man! Rumah lo megah amat, tapi lo betah sendirian." Tanpa menunggu respon si pemilik rumah, kakinya sudah berjalan melewati Zarka dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa berwarna cream.
"Fi, lo entar mau masuk sekolahan gue?"
"Ya iyalah! Mau masuk mana lagi gue kalo bukan itu? Kan Nyokap gue udah daftarinnya di situ," jawab Alfi, santai dan masih celangak-celinguk menjelajah setiap sudut rumah Zarka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret
Fiksi RemajaIni semua tentang tangis. Tentang perjuangan seorang perempuan yang melawan sesalnya. Sekali lagi, ini hanya tentang tangis. Membawa kalian masuk ke dalam kisah mereka yang begitu dalam. Menguras air mata untuk jatuh membasahi pipi. Oh, kisah ini sa...