"Andai saja, tatapanku mampu mengalihkan duniamu, kita tidak lagi saling tatap-menatap, bisa saja rasa yang selama ini saling mengendap, memilih untuk menetap."
-
"Di dunia ini tidak ada yang abadi, termasuk patah hati dan sakit hati."
****
"Jadi, yang lo suka itu Sella?"
Pertanyaan yang ke luar dari mulut Zarka lantas membuat orang yang ditanya sejenak diam.
"Alfi." Merasa diabaikan, Zarka pun memanggil saudaranya itu dengan sebutan nama.
Alfi yang tengah berkutat pada handpone-nya, hanya bisa mengembuskan napas malas. Kefokusannya pada benda tipis miliknya itu menjadi teralih seratus persen memandang Zarka yang mengamati dirinya dengan raut wajah yang bisa terbilang sangat serius.
"Hm," jawab Alfi sembari mengangguk pelan.
Zarka yang sedang duduk di ranjang tempat tidur hanya bisa mengusap rambut hitamnya frustrasi. Dilentangkan tubuhnya di atas kasur empuk lalu matanya memandang dengan pandangan kosong ke arah atas, langit-langit kamarnya yang polos.
"Jadi selama ini, orang yang lo maksud itu Sella?"
Alih-alih menjawab, justru Alfi malah ikut merebahkan tubuhnya seperti Zarka. Ia juga turut melihat ke arah yang sama.
"Kalo kata dia, gue selalu ada saat dia rapuh, bahkan gue udah pernah ngeliat air matanya jatuh." Alfi terkekeh kecil.
"Saat hujan ...," lanjut Alfi.
Hujan. Hujan. Romantiskah?
"Gue emang cowok paling berengsek," gumam Zarka, masih memandang tembok bercat cream dengan tatapan yang sulit diartikan.
Dengan gerakan cepat, Alfi menatap Zarka dengan alis mengkerut, menandakan dirinya tengah bingung. "Maksud lo 'berengsek'?"
Entah kenapa, yang dilihat dengan kedua mata Alfi, senyuman yang sekarang Zarka lukis menandakan rasa menyesal yang sangat dalam.
"Sella kehilangan satu orang. Dan juga merelakan satu orang. Itu semua karena gue. Karena gue, Fi."
Alfi terkejap. "Dia--"
Zarka menyela, "Ya, dia kehilangan sahabatnya karena gue. Setelah itu, dia merelakan pacarnya demi Rachel. Sahabatnya."
"Terus, Sella--"
"Dan dia ke lo." Zarka kembali memutuskan ucapan Alfi yang memejamkan kedua kelopak matanya.
Helaan napas panjang terdengar lewat mulut Alfi. "Tapi maaf, gue ..." Alfi menggantungkan kalimatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret
Teen FictionIni semua tentang tangis. Tentang perjuangan seorang perempuan yang melawan sesalnya. Sekali lagi, ini hanya tentang tangis. Membawa kalian masuk ke dalam kisah mereka yang begitu dalam. Menguras air mata untuk jatuh membasahi pipi. Oh, kisah ini sa...