20. Tangis dan Hujan

1.4K 82 42
                                    

"Terima kasih, Hujan!"

****

Sella menjatuhkan tubuhnya kasar ke atas ranjang tidurnya di kamar. Wajahnya memerah, menahan tangis yang belum mau ia tumpahkan. Ia meraih bantal dan menenggelamkan kepalanya di sana. Barulah, tangis yang sedari tadi ia tahan-tahan seketika pecah.

Tangisan ini tidak terlalu keras. Isakan yang ke luar dari mulut Sella, malah terdengar memiriskan. Tidak kejer. Tidak. Hanya air matanya yang jatuh membasahi pelupuk matanya.

"Ini semua tentang tangis! Gue benci! Gue benci!" jerit Sella, menepak-nepak bantal kesayangannya. Menyalurkan emosi yang ia pendam sendirian.

Tubuh Sella menjadi telentang. Memeluk bantalnya yang sudah basah. Air matanya tiba-tiba berhenti. Mata jernihnya mendongak ke atas, menatap langit-langit kamarnya yang terhias tempelan bintang dan bulan yang menyala-nyala. Raganya memang di sini, namun, pikirannya melayang jauh.

"Tau nggak sih kalau bintang aja nggak pernah iri sama matahari karena sinarnya yang lebih mencolok?"

Sella masih mematung. Mendengar kalimat Zarka yang seperti menyindir dirinya.

Merasa diabaikan, Zarka hanya tersenyum tipis. "Nggak perlu cemburu. Jangan negatif thinking dulu."

Ya, yang membuat Sella terus membeku ialah pemandangan yang sangat amat membuat matanya memanas. Di bawah sana, terlihat dari bukit yang ditempati Sella sekarang, terdapat pacarnya yang sedang memeluk Rachel--sahabatnya? Posisi yang ditempatkan Daffa ialah membelakangi Sella, sehingga tidak bisa melihat kekasihnya itu memasang tampang seperti apa. Melainkan dengan Rachel, yang Sella lihat, Rachel tampak tenang di dalam rengkuhan Daffa. Kepala Rachel dengan nyaman menempel di bahu kiri Daffa, menenggelamkan wajahnya yang bisa mata Sella lihat, air mata Rachel jatuh.

Jika manusia melihat seseorang menjatuhkan air mata, sudah pasti, logika mereka menduga jika kondisi si yang menangis sedang tidak terlihat enak. Kondisi hatinya pasti sedang terluka.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang