30. Senja

1.2K 78 36
                                    

"Terkadang cinta bukan memenjarakan. Ia hanya menjaga agar hatimu tak diambil orang."

****

Kepastian Rasa - ZBI

****

Semilir angin sore terasa begitu sejuk bagi Sella dan Zarka sekarang ini. Sepulang sekolah tadi, Zarka sudah memaksa Sella untuk ikut naik ke atas motornya dan diantarkan pulang. Dan jadilah saat ini, keduanya sedang berada di atas jok empuk milik Zarka. Sella fokus dengan keadaan sekitar sedangkan Zarka fokus menyetir.

"Sel," panggil Zarka sedikit berteriak, karena takut tidak kedengaran oleh perempuan yang duduk di belakangnya.

"Ya?" sahut Sella, membuka kaca helm putih milik Zarka dan kepalanya Sella codongkan ke arah kanan dan agak maju sejengkal.

"Gue nggak nganterin lo pulang dulu, ya. Gue mau ke toko sebentar."

"Mau ngapain?"

"Mau beli kado."

"Buat?" tanya Sella.

"Alfi."

Hah? Alfi? Alfi ulang tahun?

"Emangnya Alfi ultah? Kapan?" Sella melipat keningnya dalam.

"Besok."

Hanya bisa memanggut-manggut, Sella kembali pada kefokusannya, yaitu mengedarkan pandangan ke kanan, mdlihat aspal hitam yang dilintasi oleh banyak kendaraan.

"Cup."

Kecupan manis itu sangat amat masih membekas di pipi sebelah kanan Sella. Jantungnya serasa ingin copot dan darahnya berdesir cepat, ditambah pipinya yang memanas. Tidak menyangka kalau Zarka akan berbuat seperti itu.

"Pegangan, Sel." Tiba-tiba saja Zarka menarik kedua tangan Sella yang bebas untuk memeluk pinggangnya. Sella terbeliak.

Tetapi anehnya, Sella tidak ingin lepas dari kaitan tangannya di perut Zarka. Seolah ada lem Korea yang terdapat di seragam Zarka dan telapak tangan Sella.

"Modus," hardik Sella, terkekeh.

"Biarin!" balas Zarka, mengeratkan pegangan tangan Sella di perutnya.

Setelah itu, mereka kembali bungkam. Bingung walau hanya untuk sekedar berbasa-basi. Hening menyelimuti, diam menghiasi, dan pula canggung mengikuti.

Sella menguap lebar. Matanya terasa sangat layu karena angin sekarang benar-benar mampu membuat raga Sella mengantuk. Ia perlahan memejam, namun membukanya lagi. Tetapi untuk yang ketiga kalinya Sella seperti itu, akhirnya ia benar-benar terpejam dan menyenderkan helmnya ke punggung Zarka.

Tanpa sadar, Zarka mengukir bulan sabit di bola matanya. "Gue akan menunggu lo walau waktu akan berjalan lambat dan menahan lo terus berada di tempat," bisik Zarka, mengelus punggung tangan Sella yang terasa dingin.

"Tetap di sini dan ikut berjuang dengan gue," lanjut Zarka.

Dan tetapi, tanpa Zarka sadar, Sella mendengarkan semuanya. Lalu setitik air mata meleleh begitu saja.

****

Alunan piano menggema indah di penjuru ruang musik SMA Garuda Sakti. Ada seseorang yang memencet-mencet tuts piano dan menjadi sebuah nada yang sempurna. Alfi dengan halus, terus memainkan benda besar tersebut dengan penuh perasaan.

RegretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang