20. Malu

6K 319 1
                                    

Rania ternyata bersepupu dengan Arga. Dia tak pernah mengira-ngira sebelumnya. Dia memang tak tahu menahu tentang sepupu-sepupunya. Mereka tak pernah berkumpul bersama. Itu karena saudara-saudara bundanya adalah orang-orang sibuk. Terakhir kali ia berkumpul bersama keluarga besar dari bundanya yaitu saat Rania masih kecil, masih berumur 6 tahun. Saat Idul Fitri saja, hanya sedikit yang berkumpul di rumah kakeknya. Itu karena, saudara-saudara bundanya banyak tinggal di luar pulau. Rania juga lebih sering pergi ke rumah Kakek dari ayahnya, itu sebabnya dia tidak tahu menahu tentang Arga.

Rania terbaring di kasurnya seraya memandang langit-langit kamarnya. Memikirkan apa saja yang terjadi setelah dia memasuki bangku SMA. Sangat banyak kejadian tak terduga menurutnya, entah hal mengejutkan apalagi yang akan terjadi selanjutnya.

Ponsel Rania berdering. Rania meraihnya.

Barra? Kenapa dia menelepon?

Rania mengusap ikon hijau dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

"Hallo...," sapa Rania.

"Hallo Ran?" sapa orang yang berada di seberang sana.

"Ada apa kak?"

"Apa ya?" tanya Barra balik.

"Kan kakak yang nelpon. Ada apa?"

"Itu Ran... itu loh... besok lo ada acara?"

Rania mengernyitkan dahi. Ada apa Barra bertanya seperti itu?

"Besok gue nggak ada acara sama sekali sih. Ada apa emang?"

"Anu... bisa nggak kita ketemu besok?"

Rania semakin tak mengerti.

"Mau ngapain emang kak?"

"Cuma ketemu biasa sih. Besok di taman komplek perumahan lo. Ada yang gue mau omongin."

"Yaudah deh, besok gue ke sana."

"Yaudah Ran, makasi."

Baru Rania ingin mengucapkan kata 'sama-sama' tetapi telepon itu sudah ditutup oleh Barra.

"Gajelas banget sih." Gumamnya sembari meletakkan kembali ponselnya di meja.

﹏﹏

Sepulangnya mengambil flashdisk dari Rania, Barra bertanya-tanya. Apa hubungan Rania dengan Arga? Apa mereka berpacaran? Tapi, tak ada tanda-tanda mereka berpacaran. Jadi apa?

Barra mengambil ponselnya. Ingin sekali dia menelepon Rania dan menanyakan tentang Arga. Tapi nanti dia curiga, kenapa Barra bertanya tentang Arga.

Dia akhirnya mengurungkan niatnya dan melepas ponselnya di atas kasur.

"Barra, makan dulu," teriak mamanya.

Barra akhirnya keluar untuk makan. Dia belum makan sama sekali sejak pulang sekolah. Mungkin dia terlalu bersemangat untuk bertemu Rania.

"Mama udah makan?" Tanya Barra sembari menyendokkan nasi ke piringnya.

Dita mengangguk. "Udah tadi, pas kamu pergi."

"Yaudah, Barra makan dulu ya?"

Dita mengangguk lagi.

Barra memakan nasi dan lauknya dengan lahap, seperti orang yang tak pernah makan setahun.

"Pelan-pelan makannya!" peringat Dita yang sedang memperhatikan Barra.

"Aku laper banget ma," ucapnya sebelum menyuapkan makanan selanjutnya.

"Yaudah deh, terserah kamu. Mama mau nonton TV dulu." Dita berlalu pergi meninggalkan Barra yang memakan makanannya dengan lahap.

Barra mengangguk dan tetap melanjutkan makannya.

Setelah makanannya habis, dia langsung bergegas mengambil air minum dan langsung pergi menuju kamarnya.

Dia memandangi ponselnya. Timbul keinginan menelepon Rania.

Barra meraih ponselnya dan mencari-cari kontak adik kelasnya itu.

Dia akhirnya benar-benar menelepon adik kelasnya itu.

Beberapa detik kemudian, Rania menjawal teleponnya.

"Hallo..." Sapa orang di seberang sana.

Entah kenapa, jantung Barra dag-dig-dug sendiri.

"Hallo Ran?"

"Ada apa kak?"  tanya orang diseberang sana.

Barra bingung mau menjawab apa. "Apa ya?"
Barra benar-benar canggung. Untuk apa juga dia menelepon Rania?

"Kan kakak yang nelpon. Ada apa?" 

Barra jadi bingung sendiri, apa yang akan dia katakan? "Itu Ran... itu loh... besok lo ada acara?"  Dia tak tahu kenapa pertanyaan itu yang muncul dari mulutnya.

"Besok gue nggak ada acara sama sekali sih. Ada apa emang?"

"Anu... bisa nggak kita ketemu besok?" Aduh, apalagi yang dikatakan Barra kali ini? Gila, dia mengajak adik kelasnya ketemuan.

"Mau ngapain emang kak?"

"Cuma ketemu biasa sih. Besok di taman komplek perumahan lo. Ada yang gue mau omongin." Tak tahu kenapa, Barra memilih tempat itu.

"Yaudah deh, besok gue kesana."

Barra bernapas lega.
"Yaudah Ran, makasi."

Barra langsung menutup telepon itu, dia sangat gugup, entah kenapa.

Barra melempar ponselnya asal, untung tak jatuh dari kasur.

Dia langsung menghempaskan tubuhnya ke kasurnya. Dia sangat malu dengan Rania. Sungguh, Rania bisa membuatnya gila.

◆ ◇ ◆

Barrania (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang