Bel tanda istirahat berbunyi, Rania dengan segera memasukkan alat tulisnya ke dalam tas kemudian bangkit.
"Udah mulai nggak ngajak-ngajak nih ya? Gue temen bukan sih?" sindir Anita.
"Gue ada urusan, lo kalo mau ikut, ikut aja," ucap Rania lalu pergi meninggalkan Anita.
Rania sebenarnya tak tahu akan mengatakan apa, tapi yasudahlah, dia harus berani.
Rania terus melangkah, walaupun keraguan menyergapi hatinya.
"Gue harus berani." batin Rania mantap
Rania terus melangkahkan kakinya. Hingga tiba di suatu titik, dia melihat orang yang sangat ingin dia temui, orang yang belakangan ini selalu hinggap di pikirannya, orang yang belakangan ini menjadi alasan setiap degup jantungnya. Siapa lagi kalo bukan Barra.
Dia mungkin tak bisa menjadi sosok spesial untuk Barra. Tetapi, sudah saatnya untuk kembali menjadi sahabat seperti beberapa tahun lalu. Dia ingin seperti dulu, menjadi Acha-nya Apin.
Baru saja Rania ingin melangkahkan kakinya menuju Barra, langkahnya langsung terhenti.
Diana lebih dulu menghampiri Barra. Menggandeng tangan Barra dan pergi ke arah kantin. Dia terlambat dan hilang kesempatan.
Hilang sudah keinginan Rania untuk menemui Barra. Hatinya tersayat, entah untuk keberapa kalinya.
Entah setelah ini, apakah perasaannya akan tetap sana kepada Barra.
Barra benar-benar bisa membuat Rania melambung, lalu terjatuh.
Lantas, untuk apa Barra mengatakan bahwa dia menyayanginya? Apakah dia hanya ingin membuat Rania terus berangan-angan?
Seharusnya Rania tak bereaksi berlebihan dengan apa yang Barra katakan selama ini. Itu hanya membuat hatinya sakit. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan pertama kalinya dia merasakan sakit karena cinta. Apa jatuh cinta itu salah? Jika jatuh cinta pertamanya saja sudah banyak memberikan sakit, bagaimana dengan jatuh cinta selanjutnya? Atau mungkin lebih parahnya, dia tak bisa melupakan Barra dan tak bisa jatuh cinta kepada orang lain? Kenapa kisah cinta bisa serumit ini?
"Dek, jangan berhenti di tengah jalan gini dong, orang mau pada lewat."
Ucapan dari kakak kelasnya itu membuat Rania menepi, tadi memang dia berhenti tepat di tengah koridor, memperhatikan Barra dan Diana yang terus menjauh.
Rasanya, Rania tidak ingin jatuh cinta.
Rania dengan langkah gontai kembali menuju kelasnya. Tak ada semangat seperti saat dia akan menemui Barra tadi, semuanya lenyap saat dia dengan nyata melihat tangan Barra di gandeng oleh gadis lain.
Barra dan Diana benar-benar pasangan yang cocok. Rania tersenyum miris. Satu pertanyaan yang masih menggelantung di otaknya. Kapan mereka berdua kenal? Apakah sosok Diana yang mampu membuat Barra dengan cepat melupakan Acha? Sayangnya, dia tak bisa menanyakan pertanyaan itu. Apa haknya bertanya seperti itu kepada Barra? Mereka bukan Apin dan Acha seperti dulu.
﹏﹏
"Bar, lo di cariin nenek, lo nggak pernah ngunjungin dia?" tanya Diana setelah menyesap jus jeruk miliknya.
"Lo sering ke sana ya?"
Diana mengangguk.
"Gue nggak pernah ada waktu untuk ke sana. Ada aja halangannya, kapan-kapan deh gue ke sana," ujar Barra kemudian menyesap es teh miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Barrania (Completed)
Teen FictionAda kalanya orang yang lama berpisah di pertemukan kembali dengan caranya masing-masing.