Sepulang sekolah, Rania tidak pulang ke rumahnya, melainkan diam di sekolah. Sekitar 10 menit setelah bel pulang sekolah, rapat osis di gelar di aula. Semua anggota osis berkumpul untuk melaksanakan rapat bulanan. Sebenarnya Rania tak tahu apa agenda rapat hari ini. Ini adalah rapat bulanan pertama yang dia ikuti.
Seperti biasa, Barra dan pengurus inti lain duduk di depan. Berhadapan dengan anggota-anggota osis lain.
Hari itu juga, Pak Wawan—pembina osis mengawasi jalannya rapat.
"Terimakasih untuk yang udah dateng di rapat bulanan ini." Dengan kalimat itu, Barra membuka rapat saat itu. "Pertama-tama, gue mau mengucapkan terima kasih kepada Rania Anastasya yang sudah berhasil menjadi sekretaris pengganti selama Prisil nggak ada. Gue harap periode selanjutnya, lo bisa jadi ketua osis menggantikan gue," ucap Barra yang membuat seluruh anggota osis bertepuk tangan sembari melihat ke arah Rania. Rania hanya bisa menelan ludahnya.
"Sebelum gue memulai membahas agenda rapat kali ini, gue mau menginformasikan bahwa, gue mendapat info dari salah satu siswa bahwa, ada dua orang anggota osis yang...," Barra menjeda ucapannya. "Yang melanggar peraturan," lanjutnya. Kaliamat Barra itu sontak membuat suasana di dalam aula ribut dengan bisik-bisikan anggota osis.
"Dua orang itu sering bolos pada saat jam pelajaran." Barra bangkit dari duduknya kemudian menyapukan pandangannya ke seluruh anggota osis yang ada di sana. "Gue udah bilang. Sebagai anggota osis, seharusnya kalian bisa menjadi contoh. Apa kata siswa lain jika kalian sebagai anggota osis aja melanggar aturan?" ujar Barra tegas. "Bukan karena kalian anggota osis, jabatan kalian lebih tinggi dari siswa lainnya jadi kalian bisa seenaknya. Bukan. Justru kalian mempunyai tanggung jawab yang besar untuk mendisiplinkan siswa-siswi di sini. Bukan malah seenaknya!" tegas Barra.
Semuanya bungkam, tak ada satupun orang yang berani membuka suara. "Sekarang gue mau, yang merasa dirinya sering bolos jam pelajaran atau sering melanggar peraturan, coba maju."
Hening. Tak ada satupun yang berani berkutik.
5 detik terlewatkan dan tak ada satupun anggota yang mengaku.
"Jadi, nggak ada yang mau ngaku?" Barra menyedekapkan tangannya di bawah dada. "Gue hitung sampe lima. Kalo nggak ada yanng ngaku...," Barra melirik semua anggota osis dengan tatapan tajam "semua anggota osis bakal gue hukum," ucapnya kejam.
"Satu...."
"Dua...."
"Ti—"
Suara kursi berderit mengalihkan pandangan semua anggota osis.
Dua anggota osis yang duduk berdekatan berdiri, bersiap berjalan ke depan.
Barra tersenyum puas. Akhirnya, ada juga yang mengaku.
﹏﹏
Rania menunggu jemputan di depan gerbang sekolah. Dia sudah menginfokan kepada Dimas bahwa dia sudah selesai rapat dan di perbolehkan pulang.
"Nunggu jemputan?" tanya orang yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya. Rania jelas mengenal suara itu milik siapa.
"Hmmm...." Rania hanya bergumam.
"Nggak berminat pulang sama gue?" tanya orang itu lagi.
Rania menolehkan kepalanya kepada orang itu, lalu mengernyit. "Motor lo mana?" tanyanya.
"Di dalem," jawab orang itu santai.
"Terus kenapa lo di sini?"
"Nungguin lo sampe di jemput."
"Nggak perlu. Lo pulang aja," tolak Rania.
"Nggak. Ntar lo kenapa-napa lagi."
"Yaudah deh, terserah lo."
Suara klakson mobil mengalihkan perhatian Rania. Itu abangnya, Dimas.
Dimas menurunkan kaca mobil. Ia mengernyit saat melihat orang yang berada di samping Rania.
"Gue duluan kak," ucap Rania
Barra membalasnya dengan senyum. "Hati-hati," ucapnya.
Rania tersenyum lalu menaiki mobil.
"Jalan bang," ucapnya setelah menutup pintu mobil.
Dimas melajukan mobilnya pelan. "Yang tadi itu Barra ya?" tanya Dimas.
Rania mengernyit. "Lo kok tau Barra sih?" tanya Rania heran.
"Dia ketua osis, kan?"
Rania mengangguk. "Lo tau darimana sih?"
"Lo nggak tau dia siapa?"
"Emang dia siapa?"
"Lo serius nggak tau?"
"Nggak, emang dia siapa sih?"
"Beneran lo nggak tau?"
"Lo nyebelin parah. Gue taunya dia ketos. Udah itu aja."
"Seriusan lo cuma tau dia itu ketos, nggak tau tentang dia lagi?"
Rania memutar bola matanya jengah. "Gue nggak tau." Rania memandang Dimas. "Apa jangan-jangan, dia pernah dapet prestasi yang wow, tapi gue nggak tau."
Dimas menghela napas. "Rania lo nggak tau kalo dia itu A—" suara deringan ponsel memotong ucapan Dimas. Dimas mengambil ponselnya yang berada di dashboard.
"Hallo...."
Rania mendengus. Dia sungguh penasaran, darimana sebenarnya Dimas mengetahui Barra.
﹏﹏
Barra sangat gelisah. Sangat sangat gelisah. Bagaimana tidak? Dimas melihatnya berdiri di samping Rania tadi. Bagaimana jika identitasnya sebagai sahabat kecil Rania di ketahui oleh Rania?
Dia belum siap untuk itu. Apa yang akan di katakan Rania nanti? Apakah Rania akan membencinya karena sudah menyembunyikan ini?
Barra mengela napas. Dia mungkin hanya bisa pasrah jika Rania mengetahui ini semua. Tapi sejujurnya, Barra tidak bisa jauh dari Acha-nya lagi.
Dia ingin, dia dan Rania bisa bersama lagi seperti dulu. Dia ingin, hubungannya dengan Rania bisa lebih dari sekedar sahabat. Dia ingin Rania menjadi masa depannya. Karena di sadar bahwa Rania adalah cinta pertamanya
Sahabat kecilnya itu adalah cinta pertamanya, oleh karena itu dia tak bisa melupakan Acha sejak pertama kali mereka berpisah. Oleh karena itu, dia selalu ingin berada di dekat Rania saat dia tahu bahwa Rania adalah Acha. Dia ingin melindungi Rania dan dia tak ingin berpisah dengan Rania, lagi.◆ ◇ ◆
Akhirnya, aku update juga. Setelah beberapa waktu lalu wattpad error.
I hope yoy enjoy to read this. Ini aku nggak tau deh ceritanya jelas atau nggak ehehehehe😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Barrania (Completed)
Teen FictionAda kalanya orang yang lama berpisah di pertemukan kembali dengan caranya masing-masing.